Laman Webantu   KM2A1: 5115 File Size: 45.5 Kb *



KBYB: B1 - Awal Sebuah Tragedi
By Manai Sophiaan

30/7/2001 4:20 pm Mon

[Buku ini memang elok disiar sekarang di saat CIA berusaha menarik balik satu dokumen yang terlepas ke mata dunia. Mereka telah tersilap mengklasifikasikan beberapa seksyen penting mengenai campurtangan memalukan oleh Amerika di Indonesia pada tahun 60an sewaktu era Sukarno. Kes ini turut juga membabitkan Malaysia, Britain dan PBB. Apa yang berlaku kepada Sukarno dan kini Saddam Husin di Iraq lebih kurang serupa - dimana negara jiran dilibatkan sama. Bukan itu sahaja, malah propaganda berunsur fitnah dicerna agar ramai terpedaya.

Amerika telah menggunakan katakunci ancaman 'komunis' dan 'Hitler Asia' untuk bermain di Indonesia, negara 'Vietnam' keduanya di Asia. Tidak mustahil Amerika bermain lagi sekarang kerana ia mempunyai banyak kepentingan.... Apa yang berlaku di Aceh serta kekacauan ugama di Indonesia itu sudahpun memberi beberapa bayangan.

Sukarno adalah legenda Indonesia yang kini membuat Megawati bersinar. Tidak hairanlah rencana seperti ini keluar kerana jasa bapanya masih tidak pudar. Rencana ini patut diselam kerana ia membongkar kisah silam yang amat berharga betapa Sukarno dan seluruh rakyat Indonesia telah dimangsakan oleh Amerika, PBB Britain, dan Malaysia sehingga ia kehilangan sesuatu yang berharga miliknya. - Editor]

http://www.wirantaprawira.de/mega/books/bab_1.htm


KEHORMATAN BAGI YANG BERHAK

Bab 1


AWAL SEBUAH TRAGEDI

UNGKAPAN berbagai peneliti mengenai "Gerakan 30 September 1965" di Indonesia, berbeda-beda.

Antonie C.A. Dake dalam bukunya "In the Spirit of the Red Banteng", mengungkapkan tragedi ini dengan banyak mengacu kepada keterlibatan PKI sebagai perencana, Bung Karno mengetahui dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai pensuplai senjata untuk persiapan apa yang disebut Angkatan ke-V, yang dituduhkan akan menjadi kekuatan bersenjata PKI.

Ada 22 juta sukarelawan yang sudah mendaftarkan diri di Front Nasional, memenuhi seruan Bung Karno mobilisasi kekuatan rakyat untuk mengganyang Malaysia. Mereka inilah katanya yang akan disaring untuk dimasukkan ke dalam Angkatan ke-V.

Pembentukan Federasi Malaysia dirancang oleh Perdana Menteri Inggeris, Harold McMillan, dan Perdana Menteri Malaya, Tunku Abdul Rahman, dalam perundingan di London pada bulan Oktober 1961 dan dilanjutkan bulan Juli 1962, itulah yang mengawali provokasi politik dan militer meng-contain Indonesia.

Ganis Harsono , jurubicara Departemen Luar Negeri R.l. selama 8 tahun di era Sukarno, menulis dalam bukunya "Recollections of an Indonesian Diplomat in the Sukarno Era" yang diterbitkan oleh University of Queensland Press, Australia, tahun 1977 dan kemudian pada tahun 1985 diterbitkan edisi Indonesianya oleh Inti Idayu Press Jakarta dengan judul "Cakrawala Politik Era Sukarno", menulis bahwa Inggris memberitahukan kepada Indonesia mengenai rencananya membentuk Federasi Malaysia. Indonesia tidak menentang, karena dipahami bahwa ide pembentukkannya ialah untuk memberikan kemerdekaan kepada wilayah-wilayah jajahan Inggeris di Kalimantan Utara.

Tetapi setelah Presiden Macapagal dari Filipina mengajukan tuntutan supaya dalam proses pemberian kemerdekaan tersebut, wilayah Sabah dikembalikan kepada Filipina, karena memang tadinya adalah wilayah kekuasaan Kasultanan Sulu di Filipina Selatan yang dicaplok oleh Inggeris ketika menjajah Kalimantan Utara, justru timbul reaksi keras dari Kuala Lumpur, yang disampaikan oleh Duta Besarnya di Manila, Zaiton Ibrahim, dengan mengatakan kepada Presiden Macapagal bahwa situasi akan menjadi gawat, apabila Filipina menuntut wilayah Sabah. Malahan Menteri Pertahanan Malaya, Najib Tun Razak, memberikan reaksi yang lebih keras lagi: "Kami siap pergi berperang mempertahankan Sabah dalam naungan Malaysia".

Tadinya Sabah hanya disewa oleh Inggeris dari Sultan Sulu, Jamal Alam, yang akhirnya jatuh ke bawah penguasaan The British North Borneo Company.

Waktu itu Indonesia tidak memberikan reaksi apa-apa, diam saja. Tapi pada tanggal 8 Desember 1962, setelah Azhari yang dituduh memberontak di Brunai dan memproklamasikan kemerdekaan Kalimantan Utara yang terdiri dari Brunai, Serawak dan Sabah di Manila, di tempat mana ia melarikan diri bersama teman-temannya, dan menyatakan dirinya sebagai Perdana Menteri Negara Kalimantan Utara, cepat sekali Tungku Abdul Rahman menuding Indonesia sebagai biang keladinya.

Padahal duduk persoalannya, Azhari yang memimpin Partai Rakyat Brunai, dalam Pemilihan Umum Agustus 1962, memenangkan 54 dari 55 kursi di Dewan Distrik dan 16 dari 33 kursi di Dewan Legislatif. (1)


1) JAC Mackie, Konfrontasi, The Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966 Oxford University Press, Kuala Lumpur -London, hal. 37

Apa yang dilakukan oleh Azhari setelah partainya ditumpas dan dia dikejar--kejar sebagai pemberontak, ialah selalu mengadakan kontak dengan Wakil Presiden merangkap Menteri Luar Negeri Filipina, Immanuel Pelaez, dan sama sekali bukan dengan Indonesia.

Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI), Ali Sastroamidjojo, memberikan reaksi menolak tudingan Tungku.

Tungku pun menjadi marah oleh adanya reaksi dari Ali Sastroamidjojo dan langsung menyerang secara pribadi kepada Bung Karno dengan mengatakan: "Jangan campuri urusan Kalimantan Utara!"

Serangan ini sebenarnya datang dari Inggeris, tapi Tungku yang menjadi jurubicaranya.

Oleh karena itu, pada bulan April 1963, Bung Karno di hadapan Konperensi Wartawan Asia Afrika di Jakarta menjawab ancaman Tungku dengan mengatakan: "Perjuangan rakyat Serawak, Brunai dan Sabah, adalah bagian dari perjuangan negara-negara "the new emerging forces" yang membenci penghisapan manusia oleh manusia.

Karena Jepang melihat bahwa proses pembentukan Federasi Malaysia sudah menjurus pada kecurigaan Indonesia sebagai proyek neokolonialisme Inggeris, maka pada tanggal 31 Mei sampai 1 Juni 1963, Tokyo menyediakan tempat pertemuan antara Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Tungku Abdul Rahman, untuk mengusahakan pendekatan. Tujuannya ialah untuk menghilangkan kecurigean mengenai rencana pembentukan Federasi Malaysia, yang terdiri dari Federasi Malaya sebagai induknya digabungkan dengan Singapura dan tiga wilayah lainnya di Kalimantan Utara.

Pertemuan Tokyo menyepakati sebuah prinsip, yaitu tetap memelihara Semangat Perjanjian Persahabatan Indonesia- Malaya tabun 1959.

Untuk merumuskan lebih lanjut hasil pertemuan Tokyo, diadakan lagi pertemuan para Menteri Luar Negeri tiga negara, yaitu: Indonesia, Malaya dan Filipina, di Manila dari tanggal 7 sampai 11 Juni 1963.



Ketiga Menteri Luar Negeri itu, semuanya mempunyai jabatan rangkap, yaitu: Subandrio di samping Menteri Luar Negeri, juga Wakil Perdana Menteri I, Tun Abdul Razak, Menteri Luar Negeri dan Deputy Perdana Menteri dan Immanuel Pelaez, Menteri Luar Negeri dan sekaligus Wakil Presiden.

Dalam pertemuan Manila, Indonesia dan Filipina menyatakan tidak keberatan dibentuknya Federasi Malaysia, asal hal itu dilakukan atas dasar Hak Menentakan Nasib Sendiri bagi rakyat di wilayah- wilayah yang hendak digabungkan, dan ditentukan oleh otoritas yang bebas dan tidak berpihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB.

Pertemuan itu juga mengembangkan pemikiran Presiden Filipina, Macapagal, yaitu pembentukan Konfederasi tiga negara serumpun Melayu yang disebut MAPHILINDO (Malaysia-Philipina-lndonesia), gagasan yang langsung ditentang oleh Amerika dan Inggeris. Ironisnya, dari Peking, Menteri Luar Negeri Chen Yi menuduh MAPHILINDO sebagai proyek Nekolim.

Pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri ini, diperkuat dengan diadakannya Konperensi Tingkat Tinggi antara Perdana Menteri Tungku Abdul Rahman, Presiden Macapagal dan Presiden Sukarno yang dilangsungkan di Manila dari tanggal 31 Juli sampai 1 Agustus 1963, yang hakekatnya hanya mengesahkan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri sebelumnya.

Dalam perundingan tersendiri antara Presiden Sukarno dan Presiden Macapagal, disetujui apa yang dikenal dengan Doktrin Sukarno - Macapagal yang menegaskan bahwa Masalah Asia supaya diselesaikan oleh bangsa Asia sendiri.

Doktrin ini dengan serta merta ditolak oleh Amerika Serikat dan Inggeris, karena dinilai dapat menggagalkan tujuan pembentukan Federasi Malaysia yang dirancang di London yang sebenarnya untuk meng-contain Indonesia.

Hasil KTT Manila ternyata menggelisahkan London dan Kuala Lumpur.

Dengan adanya gagasan Presiden Macapagal yang mengusulkan pembentukan Konfederasi MAPHILINDO dan doktrin Sukarno- Macapagal yang menghendaki supaya masalah Asia diselesaikan oleh bangsa Asia sendiri, maka anasir Inteligen Inggeris dan Malaysia melansir satu berita bahwa Federasi Malaysia akan dibentuk pada tanggal 31 Agustus 1963, (2) mendahului pelaksanaan Persetujuan Manila yang menghendaki supaya pembentukan itu dilakukan atas dasar Hak Penentuan Nasib Sendiri dari rakyat bersangkutan, yang akan diatur oleh Sekretaris Jenderal PBB, waktu itu U Thant.

(2) Dr. Hidayat Mukmin, TNI dalam politik luar negeri Studi kasus penyelesaian konfrontasi Indonesia - Malaysia, hal. 95.

Dilansirnya berita itu, makin meyakinkan Indonesia bahwa memang ada udang di balik batu dengan pembentukan Federasi Malaysia yang dirasakan sebagai sangat tergesa-gesa.

Oleh karenanya, Sekjen PBB segera mengirimkan Misi PBB ke Serawak dan Sabah untuk meneliti sejauh mana rakyat Kalimantan Utara bersedia bergabung dalam Federasi Malaysia, seperti yang dituntut oleh KTT Manila. Tapi Misi sudah distel demikian rupa, dengan ketuanya diambilkan dari Amerika yaitu Laurence Michaelmore, dibantu oleh delapan anggota yang diambilkan dari berbagai negara. Indonesia, Malaya dan Filipina menyertakan juga wakil-wakilnya sebagai peninjau.

Karena Misi sedang bekerja, maka Kuala Lumpur berusaha meredakan kemarahan Indonesia dan mengumumkan penundaan pembentukan Federasi Malaysia sampai tanggal 16 September 1963, yaitu tanggal yang diperkirakan Misi PBB sudah menyelesaikan tugasnya dengan hasil yang menguntungkan London dan Kuala Lumpur. Penundaan tanggal, dianggap oleh Indonesia sebagai proforma belaka, karena hasilnya sudah ditentukan sesuai dengan keinginan Kuala Lumpur dan London.

Memang sebelum itu, Inggeris sudah mengadakan penjajagan di Kalimantan Utara dengan sebuah komisi yang diketuai oleh Lord Cobbold dan anggotanya terdiri dari: Sir Anthony Abell, Sir David Watherston, Dato Wong Po Nee dan Enche Gazali bin Sofie.

Hasil penjajagan ini diumumkan dalam Report of the Commission of Inquiry North Borneo and Serawak 1962 yang menyebutkan:


1. Sepertiga penduduk menyetujui tanpa syarat, merdeka dalam Federasi Malaysia.

2. Sepertiga menyetujui dengan syarat supaya kepentingan daerah mereka terjamin.

3. Sisa yang lain, ingin mendapatkan
kemerdekaannya dulu, sebelum bergabung dalam Federasi Malaysia.



Tapi ini semua adalah versi Komisi Cobbold. Sebelum itu sudah ditentukan supaya diadakan Pakta Pertahanan antara Inggeris dan Federasi Malaysia.

Dengan demikian, dari segi pertahanan, Federasi Malaysia dianggap oleh Inggeris lebih sederhana, karena Federasi dapat dikelola bersama sebagai satu unit strategik. Karena Federasi berada dalam lingkungan Persemakmuran Inggeris, maka Inggeris berkewajiban tetap memberikan perlindungan militer. Ketika Malaya baru merdeka, di sana hanya ada 2000 tentara Inggeris dan Australia. Tapi setelah Federasi Malaysia dibentuk, kekuatan Militer itu cepat ditambah menjadi 50.000. (3)

(3) Ibid haL 115.



Strategi pertahanan ini mencemaskan Indonesia, karena perlindungan militer Inggeris yang begitu besar, merupakan ancaman serius bagi keamanan Indonesia. Apalagi dalam mempertahankan Malaysia, sudah tersiar berita bahwa Inggeris akan mendapat dukungan dari Pakta Pertahanan ANZUS (Australia - New Zealand - United States), untuk menghadapi Sukarno yang sudah lama dicap sebagai "trouble maker" di Asia, yang kegiatannya harus dicegah jangan sampai merembet mempengaruhi negara-negara Afrika dan Amerika Latin.

Sebenarnya di Malaysia, Singapura dan British North Borneo (Kalimantan Utara), terdapat kekuatan-kekuatan politik yang menentang pembentukan Federasi Malaysia menurut konsep McMillan - Tungku Abdul Rahman, tapi mereka ditindas sehingga tidak bisa berbuat banyak.

Kekuatan menentang pembentukan Federasi Malaysia di Malaya ialah: Front Sosialis Malaya yang terdiri dari Partai Rakyat Malaya dan Partai Buruh, serta Partai Islam se-Malaya. Di Singapura: Barisan Sosialis, Partai Pekerja dan Partai Rakyat. Di Kalimantan Utara: Partai Rakyat Brunai dan Serawak United People's Party. Partai Rakyat Brunai sejak 1956 di bawah pimpinan Azhari, sudah mempunyai program hendak mengusir Inggeris dari Kalimantan Utara. (4)


4) Ibid hal. 115.



Dan apa yang terjadi kemudian?

Misi PBB yang dipimpin oleh Michaelmore, tanpa penyelidikan seksama, langsung menyatakan bahwa rakyat Kalimantan Utara (Serawak dan Sabah) menyetujui merdeka dalam Federasi Malaysia. Hasil Kerja Misi PBB ini segera disahkan oleh Sekjen PBB.

Sebaliknya Indonesia, setelah mendengarkan laporan dari peninjau-peninjaunya yang menyertai penyelidikan Misi PBB, menuduh adanya kecurangan-kecurangan yang menyolok, sehingga laporan Misi PBB itu tidak bisa dianggap sah.

Akibatnya, mudah dipahami. Karena Indonesia menolak hasil penyelidikan Misi PBB yang disahkan oleh Sekjen PBB, ditambah lagi tersiar berita bahwa sesudah Federasi Malaysia diresmikan pada tanggal 16 September 1963, negara federasi baru itu segera akan diterima menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, maka Jakarta langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur.

Oleh perkembangan yang sangat cepat, dan usaha diplomatik untuk mencoba meredamnya mengalami kegagalan, maka konfrontasi Indonesia - Malaysia tidak terhindarkan lagi. Dr. Subandrio dalam kedudukannya sebagai Wakil Panglima Besar KOTI (Komando Tertinggi Indonesia) dan Kepala Badan Pusat Inteligen (BPI), mulai menerjunkan gerilyawan di Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara, untuk memberikan tekanan kepada Kuala Lumpur supaya mau merubah sikapnya dengan mengemukakan aproach baru yang bisa mengatasi deadlock.

Malaysia didirikan tanpa ikut sertanya Brunai, sedang Singapura yang tadinya. ikut bergabung, kemudian memisahkan diri dan menyatakan dirinya merdeka sendiri.

Tapi tindakan Dr. Subandrio itu, justru memberikan alasan kepada Inggeris dan sekutunya Pakta ANZUS untuk bersiap - siap menyerang Indonesia, kemungkinan yang sebenarnya sudah lebih awal disinyalir oleh Bung Karno.

Sebelum itu, dalam bulan Oktober 1963, Presiden Kennedy dari Amerika, mengirimkan surat kepada Presiden Sukarno yang menganggap sikap Indonesia terhadap Malaysia, menempatkannya pada posisi yang amat sulit untuk mewujudkan keinginannya membantu usaha-usaha Indonesia ke arah pembangunan dan pemulihan ekonominya.

Setelah menerima surat tersebut, Presiden Sukarno langsung mengadakan pertemuan dengan 10 orang menteri seniornya, yaitu: Ir. Djuanda, Dr. Subandrio, Chaerul Saleh, Dr. J. Leimena, Sudibyo, disertai dengan menteri-menteri militer yaitu: A.H. Nasution, A. Yani, E. Martadinata, Omar Dhani dan Sucipto. Pertemuan merumuskan jawaban yang paling tepat untuk Surat Presiden Kennedy dengan sebuah kalimat yang tegas: "Go to hell with American aid". (5)

(5) Ganis Harsono, Cakrawala Politik Era Sukarno, hal. 160 -161




Dengan surat Presiden Kennedy tersebut, makin menjadi jelas bahwa bukan saja Inggeris, melainkan juga Amerika ikut ambil bagian dalam merekayasa pembentukan Federasi Malaysia.

Tapi cara mengelola ketegangan akibat pembentukan Federasi Malaysia, akhirnya menggiring Indonesia terjaring masuk perangkap konfrontasi militer yang sudah dipasang oleh Inggeris dan Amerika. Bung Karno segera melihat bahaya akan makin meningkatnya eskalasi konfrontasi, maka berusaha mencari upaya mengendorkannya dengan mengusulkan segera diselenggarakannya KTT 3 negara yang terkait.

Upaya Bung Karno terlambat, karena segera sesudah itu, bom waktu yang sudah lama dipasang oleh persekutuan Nekolim di Indonesia, tidak bisa ditangkal lagi.

Meletuslah "Gerakan 30 September 1965", yang mengundang Amerika makin terang-terangan berkiprah melaksanakan rencana menghancurkan revolusi Indonesia dan kepemimpinan Bung Karno yang dijuluki oleh Barat sebagai "Hitler Baru" seusai Perang Dunia II.

Itulah lihainya Nekolim yang tidak secara dini bisa diantisipasi.

Meski pun demikian, pada bulan Februari 1966 Presiden Sukarno masih menugaskan Duta Besar Keliling R.l., Supeni, pergi ke Manila membicarakan dengan Presiden Ferdinand Marcos yang sudah menggantikan Macapagal, mengenai perlunya segera diadakan KTT MAPHILINDO dan minta supaya Filipina jangan dulu memberikan pengakuan kepada Federasi Malaysia. Tujuan Bung Karno untuk segera menyelenggarakan KTT MAPHILINDO, ialah mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dan menyelesaikan dispute Sabah yang di claim oleh Filipina, atas dasar semangat MAPHILINDO.

Tapi rencana Bung Karno ini, sebelum bisa dilaksanakan, sudah kedahuluan dicegat oleh keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR), yang berakibat kekuasaan berpindah ke tangan Letnan Jenderal Soeharto sebagai pengemban SUPERSEMAR yang segera saja melakukan penahanan terhadap menteri-menteri yang penting, sehingga Presiden Sukarno kehilangan pembantu- pembantunya dan Kabinet Baru harus dibentuk bersama Pengemban SUPERSEMAR. Praktis Bung Karno sudah kehilangan kekuasaannya.

Dr. Suharto, dokter pribadi Bung Karno, dalam bukunya "Saksi Sejarah" memastikan bahwa konfrontasi dengan Malaysia tidak termasuk dalam calender of event Bung Karno (6). Barangkali Komando Dwikora (konfrontasi dengan Malaysia) adalah imposed (desakan) pihak lain, mungkin musuh dalam selimut yang mengetahui psycho emosional Bung Karno. Dengan menggunakan metode psycho analisa, dilakukan berbagai tipu muslihat, yang bertujuan mempengaruhi Bung Karno dalam mengambil keputusan melakukan suatu tindakan. (7)


(6) Dr. Suharto, SaksiSejarah, hal. 135.

(7) Ibid, hal. 189


Setelah Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia memberikan reaksi yang sangat keras dan langsung menyatakan keluar dari keanggotaan PBB, meski pun disadari bahwa putusan ini adalah satu imbalan yang sangat mahal. Putusan ini diumumkan oleh Bung Karno pada 7 Januari 1965 dalam rapat umum Anti Pangkalan Militer Asing, di ISTORA Jakarta.

Pada awal Bab ini, sudah disinggung adanya 22 juta sukarelawan yang mendaftarkan diri untuk melawan serbuan Inggeris dan sekutunya ke Indonesia, jika konfrontasi mencapai puncaknya. Tujuan seruan Bung Karno mengadakan mobilisasi kekuatan rakyat, sangat jelas yaitu untuk apa yang dirumuskan secara populer: Ganyang Malaysia!. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan tuduhan sebagai persiapan untuk pembentukan Angkatan ke V. Prosedur yang harus dipenuhi untuk pembentukan Lembaga semacam itu, bukan saja belum pernah ditempuh, bahkan dibicarakan saja dalam sidang Kabinet sebagai Lembaga kekuasaan eksekutif, DPRGR sebagai Lembaga kekuasaan Legislatif, maupun dimintakan pertimbangan dari Dewan Pertimbangan Agung, sebagai Lembaga Tinggi Negara, belum pernah.

Untuk membentuk Angkatan ke-V yang begitu prinsipil, tidak mungkin dilakukan tanpa disetujui oleh ketiga Lembaga Tinggi Negara seperti yang disebutkan di atas.

Gagasan Angkatan ke-V sebenarnya hanya move politik yang dilontarkan oleh Bung Karno, yang ide pokoknya bertolak dari ketentuan UUD 1945 pasal 30 tentang bela negara, dikaitkan dengan gerakan "ganyang Malaysia". Hanya pihak pers tertentu yang membesarbesarkannya dan meminta reaksi dari Menteri/ Panglima Angkatan Darat yang tentu saja menentangnya. Dengan demikian, move politik ini segera di ekspos seolah-olah Bung Karno sudah memerintahkan pembentukan Angkatan ke-V, yang kemudian dituding sebagai salah satu alasan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI.

Rekayasa lain untuk mencoba membuktikan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI, ialah keterangan Brigadir Jenderal H.R. Sugandhi, (ajudan Presiden 19481962) yang memberikan pengakuan kepada Team Pemeriksa Pusat (TEPERPU) di bawah sumpah, bahwa ia telah berbicara langsung dengan ketua CC PKI, D.N. Aidit, dan sekretaris CC, Sudisman, pada tanggal 27 September 1965, di mana kedua tokoh PKI itu katanya memberitahukan kepadanya bahwa PKI akan melakukan coup d'état atau tindakan untuk membenahi revolusi Indonesia yang dirongrong oleh "Dewan Jenderal". Rencana itu hendak dilaksanakan dalam tempo satu- duatiga hari lagi. Sugandhi diajak ikut bergabung, karena kata Aidit, rencana ini sudah diberitahukan kepada Bung Karno. Sugandhi, katanya menolak ajakan itu.

Dalam pengakuannya, ia mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965, yakni sesudah tiga hari pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman, dilaporkannyalah berita ini kepada Presiden Sukarno di Istana Merdeka. Menurut pengakuan Sugandhi, Bung Karno tidak mau percaya pada laporan itu, bahkan Bung Karno menuduhnya "PKI-phobi".

Dikatakan dalam pengakuan itu, pada tanggal yang sama, ia melaporkan juga pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman, kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal A. Yani. Namun tidak dijelaskan bagaimarra jawaban atau perintah A. Yani sebagai reaksi atas laporan tersebut.

Menurut Sugandhi, pada tanggal 1 Oktober 1965, ia melaporkan juga kepada Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan Jenderal A.H. Nasution. Juga tidak dijelaskan apa reaksi Jenderal Nasution.

Bila diteliti dengan seksama, pengakuan di bawah sumpah Brigadir Jenderal H.R. Sugandhi tersebut, terasa sangat aneh dan mengandung tanda tanya. Dia diketahui sebagai seorang prajurit pilihan sehingga diangkat menjadi Jenderal, di samping juga ia orang terhormat sebagai anggota MPRS/DPRGR.

Mengapa dikatakan sangat aneh dan mengandung tanda tanya, karena pertama, menurut akal sehat, tidak mungkin seseorang, apalagi seorang ketua CC PKI dan sekretaris CC, begitu saja membicarakan suatu rencana yang kadar kerahasiaannya paling tinggi, kepada seseorang, apalagi dari jajaran pihak lawannya. Kedua, sudah begitu rapuhkah semangat Sapta Marga dan Sumpah Prajurit dalam diri seorang prajurit pilihan, sehingga suatu informasi yang kadar nilainya sangat tinggi, serta diperoleh secara langsung dari pimpinan PKI yang paling kompeten, harus disimpan sendiri selama tiga kali 24 jam baru disampaikan kepada atasannya, di mana suhu politik dalam negeri waktu itu sedang panas? Apakah ini suatu kelalaian atau suatu kesengajaan? Ketiga, makna apa yang tersirat dalam sentuhan hubungan antara Brigjen Sugandhi dengan Aidit dan Sudisman, yang masingmasing sebagai ketua CC PKI dan Sekretaris Jenderal CC?

Dapat dimengerti bahwa pada tahun-tahun awal sesudah terjadinya G30S/PKI, suasana masih dalam serba emosional, sehingga pertimbangan kelayakan satu informasi kadang-kadang subyektivitasnya lebih menonjol. Apa lagi tidak dibentuk satu Komisi yang ditugaskan untuk memeriksa benar tidaknya pengakuan Sugandhi tersebut, yang akhirnya pengakuan ini digunakan untuk memvonis Sukarno terlibat G30S/PKI. Sebaliknya, Sugandhi mendapat nama baik.

Sidang Istimewa MPRS 7 Maret 1967 yang anggota-anggotanya banyak dipecat dan diganti serta ditambah dengan orang-orang yang menguntungkan, termasuk pimpinan lama diganti dengan Jenderal A.H. Nasution sebagai ketua baru, itulah yang mencabut mandat Ir. Sukarno sebagai Presiden, serta melarangnya melakukan kegiatan politik.

Dan apa yang terbukti kemudian?

Sesudah nasi menjadi bubur, komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden Sukarno, Letnan kolonel polisi H. Mangil Martowidjojo, baru mengungkapkan dengan mengemukakan bukti-bukti bahwa keterangan Sugandhi di bawah sumpah itu, sepenuhnya kebohongan dan fitnah. (8)


(8) Majalah PETA, edisi September/Oktober 1992, Jakarta, hal. 3-6. Baca juga: Soegiarso Soerojo, Siapa menabur angin akan menuai badai, hal. 236-237, yang mengutip dialog antara Sugandhi dengan Aidit-Sudisman dan dialog antara Bung Kamo dengan Sugandhi menurut versi yang diceritakan oleh Sugandhi.





Memang sayang sekali Mangil tidak segera menyampaikan kebohongan Sugandhi kepada Bung Karno, padahal ia sudah mendengar "Geruchten" (desas-desus)nya, jauh sebelum Sukarno dijatuhkan oleh MPRS.

Mangil mengatakan, karena ia penasaran, maka tanggal yang disebutkan oleh Sugandhi melaporkan hasil pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman kepada Presiden, yaitu tanggal 30 September 1965, diperiksanya kembali buku catatan tamu Istana, apakah betul waktu itu Sugandhi datang. Ternyata tidak ada nama Sugandhi masuk Istana pada hari itu. Bukan saja Mangil yang selalu mengawal Bung Karno tidak melihat Sugandhi menemui Presiden hari itu, juga di buku catatan tamu yang harus diisi oleh setiap tamu yang masuk Istana, baik ia tamu dipanggil atau tamu yang mendadak datang, nama Sugandhi tidak ada. Di "wachtrooster" (buku jaga) yang harus diisi oleh setiap tamu sesuai dengan peraturan yang ditentukan oleh ajudan, mau pun dalam buku Detasemen Kawal Pribadi yang selalu memasukkan dalam catatan semua tamu yang masuk Istana, tidak ada nama Sugandhi pada 30 September 1965 masuk Istana.

Beberapa hari sesudah meletusnya Gerakan 30 September, melalui Menteri Penerangan Ahmadi, Bung Karno berpesan supaya Sugandhi datang ke Istana Bogor, karena Bung Karno memerlukan masukan mengenai gerakan tersebut, tapi ia tidak mau datang. Bahkan berkata kepada Ahmadi supaya menyampaikan kepada Bung Karno kalau ia tidak berhasil menemuinya.

Sesudah penolakan Sugandhi atas panggilan Bung Karno, pada suatu hari ia datang ke Istana Jakarta, saat Bung Karno sedang berolahraga pagi jalan kaki mengelilingi Istana diikuti oleh beberapa anggota staf Istana dan para pengawal. Sugandhi terus bergabung dengan rombongan dan dari belakang Bung Karno, ia melaporkan kehadirannya. Tapi mengetahui kedatangan Sugandhi ini, Bung Karno malah langsung memerintahkannya supaya keluar. "Deruit, deruit" perintah Bung Karno. Karena Sugandhi belum juga keluar dan masih terus mengikuti dari belakang, sekali lagi Bung Karno memerintahkannya supaya keluar. Barulah Sugandhi keluar.

Kata Mangil: Rasanya koq tidak masuk akal dan tidak logis Aidit dan Sudisman sembarangan begitu saja memberitahukan rencananya yang begitu rahasia kepada orang yang tidak sepaham. Kecuali kalau Sugandhi itu memang orang PKI".

Meski pun Mangil terlambat mengungkapkan fitnah terhadap Bung Karno ini, tapi ungkapan itu sama sekali tidak berkurang arti pentingnya, karena ia menambah satu bukti lagi dari sekian banyak bukti yang sudah ada, bahwa Bung Karno digulingkan melalui rakayasa yang skenarionya sudah dirancang demikian rupa.

Keterangan lain yang menarik, dikemukakan oleh Prof. Peter Dale Scott, seorang diplomat Kanada, Guru Besar dan Doctor dalam ilmu politik, ketika ia diundang pada bulan Desember 1984 untuk mengemukakan makalahnya dalam sebuah forum di "University of California", Berkeley, yang dihadiri juga oleh tokoh-tokoh terkemuka antaranya terdapat bekas direktur CIA periode 1962- 1966 untuk bagian Timur Jauh, di mana ia membahas sebuah judul "The United States and the Overthrow of Sukarno, 19651967" - Amerika Serikat dan penggulingan Sukarno, 19651 967.

la memulai uraiannya dengan mengatakan bahwa subjek yang akan dibahasnya, adalah subjek besar tapi menjengkelkan, karena kisah yang lengkap mengenai periode yang rumit dan kurang dimengerti ini, akan tetap berada di luar jangkauan analisis tertulis yang paling lengkap sekali pun. Banyak yang telah terjadi, tidak mungkin bisa didokumentasi, sedang catatan-catatan yang bisa diselamatkan, banyak hal yang bersifat kontroversial yang tak mungkin diverifikasi.

Namun demikian, setelah pertimbangan-pertimbangan tersebut dikemukakan, maka intisari kisah yang rumit dan bermakna ganda itu, mengenai suatu tragedi yang berdarah. Setelah mempelajari referensi-referensi yang ada, sebenarnya bersifat sederhana saja dan lebih mudah dimengerti ketimbang keterangan-keterangan akademis dari sumber-sumber Indonesia mau pun Amerika Serikat. Kesimpulan dari keterangan-keterangan mereka yang bersifat problematis itu, hanya mengatakan bahwa pada musim gugur 1965, golongan kiri di Indonesia telah menyerang pihak kanan yang menyebabkan diadakannya restorasi kekuasaan dan pembantaian golongan kiri oleh golongan tengah.

Peter Dale Scott memberikan catatan betapa sukarnya melakukan analisis yang pada pokoknya hanya bersandar pada apa yang dinamakan bukti-bukti yang disajikan dalam sidang-sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB) yang bertentangan dengan studi CIA 1968, yang agak kurang bersifat khayalan. (9)

(9) Termuat dalam "Pacific Affair': Summer 1985, hal. 239.



Juga H. W. Brands menulis dalam "Journal of American History" bahwa waktu pengaruhnya tengah memuncak di Asia Tenggara, Amerika telah ambil bagian dalam kup yang gagal terhadap Sukarno di tahun 1958. Pemerintah Johnson tidak menyembunyi-kan kecemasannya bahwa Sukarno dapat mengantar Indonesia pada suatu posisi yang penting, sementara Amerika Serikat sendiri sedang berusaha menyelamatkan Vietnam Selatan.

Maka pada waktu Amerika Serikat di tahun 1966 telah memperoleh keyakinan bahwa Soeharto telah berhasil mengesampingkan Sukarno dan menghancurkan PKI, pemerintah Amerika secara mencolok memberi selamat kepada penguasa baru, karena telah melakukan suatu tugas dengan baik sekali.

Meski pun demikian, Brands mengatakan bahwa penggulingan Sukarno, tidak ada hubungannya dengan Amerika Serikat, padahal diakuinya bahwa selama beberapa bulan, pejabat-pejabat Amerika Serikat telah mendesak pihak Tentara di Indonesia supaya bertindak, tapi tidak berhasil. Pada musim panas 1965 (sebelum G30S), kelihatan Pemerintah Johnson sudah putus asa.

Selama satu dekade lebih, Sukarno dapat mengatasi beberapa tantangan, termasuk affair 17 Oktober 1952, satu kup yang tidak langsung, di mana A.H. Nasution hendak memaksa Sukarno mem- bubarkan kekuasaan Eksekutif dengan jalan membubarkan kekuatan- nya di Parlemen, untuk memberikan peluang bagi Tentara supaya bisa tampil. Sukarno berhasil menggagalkan pemberontakan di Sumatera (PRRI) yang dibantu oleh CIA dengan 300 orang tentara Amerika, Filipina dan Tiongkok Nasionalis, lengkap dengan pesawat udara transport dan Bomber B-26. (10)



(10) Baca: H. W. Brands dalam "Journal of American History", The Organization of Historians, vol. 76, No. 3, Desember 1989.


Geoffrey Robinson (Boston, Massuchusetts) dalam makalahnya (1990) yang berjudul "Some Arguments Concerning U. S. Influence and Complicity in the Indonesian Coup of October 1, 1965 - Beberapa argumen mengenai keterlibatan A.S. dalam kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia--, mengatakan bahwa sejak dari awal, "Gerakan 30 September" itu kelihatannya seperti sebuah kup yang direncanakan untuk gagal, kudeta itu di disain sedemikian rupa sehingga mampu menyimpan sebush dalih untak mengadakan suatu pameran kekuatan dan meraih kekuasaan.

Kata Geoffrey Robinson, laporan CIA yang menyatakan PKI lah penanggungjawab tunggal atas kup, adalah hal yang sukar didukung. Tapi logika argumentasi yang dikemukakannya, tidak membuang sama sekali kemungkinan adanya peran PKI. Dikatakan, baik strategi yang digunakan maupun bukti dorongan yang membawa PKI ke dalam peristiwa tersebut, semuanya menunjukkan kecenderungan bahwa keikut-sertaan PKI, tidak lebih dari sesuatu yang marginal, lebih banyak didorong oleh kesalahan informasi mengenai rencana coup d'état "Dewan Jenderal". Dengan mengutip Mortimer, ia menyimpulkan bahwa asal-usul Gerakan 30 September hendaklah dicari dalam kegiatan kelompok perwira dissident (berpendapat lain) Divisi Diponegoro. Bukan suatu koinsidensi (kebetulan) bahwa hasil kudeta itu ialah kehancuran PKI, jatuhnya Sukarno dan tampilnya Angkaran Darat sebagai pelaku politik kunci, pembukaan kembali pintu Indonesia bagi investasi modal asing dan reorientasi politik luar negeri Indonesia persis seperti apa yang selama beberapa tahun direncanakan dalam berbagai macam skenario kebijaksanaan, berbagai prospektus politik dan berbagai laporan situasi yang disiapkan oleh National Security Council, State Department dan "country team" Kedutaan Besar Amerika di Jakarta.

Kekurang-jelian PKI menilai kebenaran informasi yang diterimanya sekitar rencana coup d'etat "Dewan Jenderal" sehingga langsung mempercayainya dan bertindak mendahului, itulah yang menghantarkan partai ini ke liang kehancurannya.

Argumentasi yang dikemukakan oleh Geofrey Robinson untuk mendukung kesimpulan di atas, ialah kenyataan bahwa coup d'etat tampil pada saat titik kritis polarisasi antara Angkatan Darat di satu pihak dan apa yang disebutnya aliansi Sukarno-PKI di pihak lain.

Sedang faktor-faktor lain yang dimanipulasi, antaranya intervensi Amerika Serikat di Vietnam Utara dengan memulai pemboman, dukungan Amerika Serikat kepada Inggris mengenai konfrontasi Malaysia, serangan terhadap Sukarno oleh anggota-anggota Kongres dan tulisan-tulisan pers Amerika yang provokatif untuk memancing kemarahan Sukarno dan PKI agar menyerang balik. Dalam keadaan demikian, tidak banyak lagi apa yang harus dilakukan oleh Amerika, karena semuanya sudah dikerjakan dengan terjadinya polarisasi "kanan" dan "kiri" yang telah ditingkatkan oleh kedua belah pihak.

Pola umum yang tampil dari studi atas periode ini, mempunyai dua dimensi yang saling berhubungan.

Pertama, kegiatan agen-agen Amerika yang sengaja mengembangkan sejenis politik tertentu terhadap Indonesia yang sedang berada dalam polarisasi politik yang sudah serius. Jenis politik itu ialah merupakan tekanantekanan ekonomi dan tekanan- tekanan lainnya secara selektif dengan tujuan melemahkan yang "kiri" dan memperkuat yang "kanan" -- yang disebut sebagai sahabat kita".

Kedua, bulan-bulan terakhir menjelang kudeta, para penasehat Amerika Serikat, sudah sampai pada titik mem- pertimbangkan pembalasan militer langsung terhadap pemerintah Sukarno, karena cara lain dianggap sudah gagal secara essensial, termasuk perebutan kekuasaan oleh Tentara, sebuah rencana yang diharap-harap dan lama direnungkan oleh Amerika; sebagai jawaban atas ancaman "kiri" yang menghantui.


Ralph McGehee, seorang pensiunan CIA, dalam hubungan ini menyarankan supaya metode yang dipakai CIA di Indonesia, yang dinilai penuh kepiawaian, dapat digunakan sebagai satu tipe atau denah untuk operasioperasi terselubung lainnya di masa yang akan datang. Secara khusus metode ini memang sudah dipraktekkan dalam kasus keterlibatan CIA menggulingkan Presiden Alende dari Chili. Terbukti dipakainya rancangan atau denah tipe Jakarta ini, mencapai hasil yang baik. (11)

(11) "The CIA and the White Paper on El-Salvador", The Nation April 11, 1981, hal. 423.

Dengan pengakuan-pengakuan yang diuraikan di atas, jelas menunjukkan bahwa keterlibatan Amerika Serikat dengan ClA-nya dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, dengan sasaran pokoknya menghancurkan PKI dan menggulingkan Sukarno, tidak terbantah lagi.

Bagi kita di Indonesia, tentu lebih mudah memahami peristiwa itu karena ikut mengalaminya, meski pun pengalaman-pengalaman itu tidak semua bisa dikemukakan secara terbuka.

Sebagai pelengkap, berbagai referensi berupa bukubuku atau tulisan-tulisan, telah diterbitkan. Misalnya, buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (Kepala Pusat Sejarah Militer AD), Soegiarso Soerojo (Seorang Intel), Memoir Jenderal Yoga Sugomo, seorang yang sangat berpengalaman di bidang Intel dan mantan kepala BAKIN serta banyak buku lainnya yang umumnya menunjuk biang keladi G30S: PKI, Bung Karno dan RRT. Tidak satu pun yang menyebutkan keterlibatan Amerika Serikat.

Bahkan sudah di-release film "Pengkhiatan G30S/PKI" yang setiap tanggal 30 September ditayangkan ulang di TVRI, meski pun efeknya seperti angin ribut yang lekas berlalu.

Sayangnya di Indonesia sendiri, meski pun sudah 30 tahun kejadiannya, belum pernah diselenggarakan SEMINAR yang dapat mengungkapkan peristiwa itu secara utuh dan objektif, bahkan terasa masih tabu.

Sebuah analisis yang tajam dikemukakan oleh Bung Karno dalam "Pelengkap Nawaksara" yang disampaikannya kepada MPRS 10 Januari 1967, sebagai Pelengkap "Amanat Nawaksara" mengenai terjadinya G30S sebagai berikut:

"Berdasarkan penyelidikanku yang seksama, menunjukkan bahwa peristiwa Gerakan 30 September itu, ditimbulkan oleh pertemuannya tiga sebab, yaitu:


1. Kebelingeran pimpinan PKI

2. Kelihaian subversi Nekolim

3. Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar".


Ketiga sebab yang disebutkan oleh Bung Karno itu meski pun tidak diperinci, tapi dari hasil penelitian yang luas di kemudian hari, membuktikan kebenarannya.

Kebelingeran pemimpin-pemipin PKI, diakui oleh tokoh-tokoh PKI sendiri, yang akan diuraikan pada bab berikut.

Kelihaian subversi Nekolim, dibenarkan oleh begitu banyak pengakuan tokoh-tokoh Barat dan Amerika, dan dokumen- dokumen resmi yang terungkap mengenai keterlibatan Amerika Serikat dan CIA di Indonesia.

Terakhir, dalam bulan Desember 1992 di Monash University Melburne, Australia, telah diseminarkan topik yang bertema "Indonesian Democracy 1950's and 1990's". Prof. George McT. Kahin dari Cornell University (AS), adalah salah seorang dari 300 pakar tentang Indonesia yang ambil bagian dalam Seminar itu, mengemukakan terus terang dalam makalahnya "Impact of US Policy on Indonesian Politics" (Dampak kebijaksanaan politik Amerika Serikat terhadap Indonesia), betapa jelas campur tangan pemerintah Amerika Serikat dalam soal-soal politik Indonesia, karena kekhawatiran Washington tentang kemungkinan Indonesia jatuh ke tangan komunis.

Dengan mengutip catatan mantan Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Hugh S. Cumming Jr, yang tersimpan di Arsip Nasional Amerika, Prof. Kahin mengatakan bahwa Presiden Dwight Eisenhower meminta Cumming supaya waspada atas kenyataan sebuah negara seperti Indonesia yang katanya merupakan masalah besar karena tidak mempunyai tradisi memerintah sendiri, sehingga bisa jatuh ketangan komunis atau terpecah-pecah menjadi bagian lebih kecil.

Dalam konteks perang dingin, Eisenhower lebih suka memilih Indonesia terpecah-pecah ketimbang jatuh ke tangan komunis. Maka setelah Cumming bertugas di Indonesia, Presiden Eisenhower memerintahkan supaya merealisasikan keinginannya meredam kemajuan komunis dengan memperhatikan dua perkembangan di lapangan.

Pertama, sikap Sukarno yang dinilai lebih dekat dengan Beijing, lebih-lebih setelah mengunjungi RRT di tahun 1956, ia mengagumi dan ingin meniru kemajuan Cina dalam mem- bangun ekonominya.

Kedua, PKI dalam PEMILU 1955 meraih 20,6% suara di Jawa dan malah 27,4% dalam pemilihan tingkat propinsi bulan Juli dan Agustus 1957.

Perkembangan ini meningkatkan kecemasan Washington tentang kemungkinan Jawa jatuh ke tangan komunis. Malahan Kahin mengakui, masih banyak arsip Amerika Serikat mengenai keterlibatan CIA di Indonesia yang sampai sekarang masih dirahasiakan, meski pun sudah melewati batas waktu kerahasiaan 30 tahun.

Dengan premis bahwa komunis di Jawa sudah menjadi suatu mayoritas absolut, maka Badan Keamanan Nasional mendorong CIA membantu memperkuat gerakan pemberontakan di daerah- daerah. Menurut perhitungan Washington, sekiranya pemberontak kuat karena mendapat bantuan Amerika Serikat, maka bisa terjadi perang saudara dan Amerika Serikat pasti memihak kekuatan anti komunis.

Dalam makalahnya sepanjang 31 halaman itu, Kahin mengungkap-kan, CIA kemudian segera beraksi dengan menghubungi tokoh-tokoh miiiter pembangkang di daerah. Hanya dalam tempo 1 minggu, seorang agen CIA tiba di Padang untuk menyerahkan dana kepada Kolonel Simbolon sebagai bantuan bagi pasukannya yang digulingkan di Sumatera Utara.

Kolonel Simbolon dan beberapa perwira staf Letnan Kolonel Ahmad Husein, komandan tentara di Sumatera Barat, diundang oleh CIA ke pangkalannya di Singapura, kemudian diikuti dengan pengiriman senjata dan dana dalam jumiah besar ke Padang.

Lima bulan kemudian, Amerika Serikat memberikan alat komunikasi dan persenjataan modern kepada 8000 pemberontak di Sumatera. Bantuan itu diserahkan secara sembunyi-sembunyi dan pemberontak mengambilnya sendiri dari kapal selam yang nongkrong di lepas pantai Padang.

CIA juga membawa sejumlah anak buah letnan kolonel Ahmad Husein untuk dilatih komunikasi dan penguasaan menggunakan senjata-senjata modern di berbagai fasilitas militer Amerika Serikat di Pasifik Barat.

Amerika Serikat juga memberikan bantuan serupa kepada pemberontak PERMESTA di Sulawesi. Tapi bantuan dana dan senjata Amerika Serikat kepada gerakan pemberontak di Sumatera dan Sulawesi, ternyata tidak cukup kuat untuk memaksa Sukarno dan Pemerintah Jakarta memenuhi keinginan Washington.(12)

(12) Laporan wartawan "KOMPAS' Ratih Hardjono dan Rikard Bagun yang meliput jalannya Seminar diAustralia, "KOMPAS" 21 Desember 1992, Jakarta.

Uraian Prof. George McT. Kahin sangat menarik para peserta seminar. Campur tangan Amerika Serikat di Indonesia tidak bisa dibantah lagi, karena yang mengemukakan tokoh Amerika sendiri dan klimaksnya ialah keterlibatan negara Uncle Sam ini dalam perencanaan dan pencetusan Gerakan 30 September 1965 yang berhasil mengguling- kan Sukarno dan menghancurkan PKI.

Amerika Serikat yang menjadikan dirinya Polisi Dunia, fungsi yang seharusnya hanya menjadi milik PBB, di manamana terus mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

Kenyataan bahwa 20 Januari 1993, hanya beberapa jam sebelum Presiden George Bush melepaskan jabatannya dan menyerahkan tongkat kepresidenan kepada penggantinya yang menang dalam Pemilihan Umum, Bill Clinton, ia masih melancarkan aktifitasnya yang terakhir, mendesak pemerintah-pemerintah di seluruh dunia supaya mendukung usaha yang dirintisnya yaitu menggulingkan Presiden Irak, Saddam Hussein, membuktikan betapa tradisi Amerika Serikat campur tangan urusan dalam negeri negara lain, makin melembaga dan tidak lagi dijalankan secara diam-diam. Pembantu Pusat Keamanan Presiden Bush, Brent Scowcraft, dengan terang-terangan mengakui bahwa Washington memang telah mendukung usaha coup d'etat terhadap Saddam Hussein. (13)

(13) Disiarkan oleh Kantor Berita "Reuter" dan "AFP" pada tanggal 21 Januari 1993

Apa yang dilakukan oleh Bush terhadap Saddam Hussein, itu pula yang telah dilakukan Amerika Serikat terhadap Sukarno sejak 1956 dan akhirnya sukses pada tahun 1966.