Laman Webantu KM2A1: 5115 File Size: 45.5 Kb * |
KBYB: B1 - Awal Sebuah Tragedi By Manai Sophiaan 30/7/2001 4:20 pm Mon |
[Buku ini memang elok disiar sekarang di saat CIA berusaha menarik
balik satu dokumen yang terlepas ke mata dunia. Mereka telah tersilap
mengklasifikasikan beberapa seksyen penting mengenai campurtangan memalukan oleh
Amerika di Indonesia pada tahun 60an sewaktu era Sukarno. Kes ini turut juga
membabitkan Malaysia, Britain dan PBB. Apa yang berlaku kepada Sukarno dan kini
Saddam Husin di Iraq lebih kurang serupa - dimana negara jiran dilibatkan sama.
Bukan itu sahaja, malah propaganda berunsur fitnah dicerna agar ramai terpedaya.
Amerika telah menggunakan katakunci ancaman 'komunis' dan 'Hitler Asia' untuk
bermain di Indonesia, negara 'Vietnam' keduanya di Asia. Tidak mustahil Amerika
bermain lagi sekarang kerana ia mempunyai banyak kepentingan.... Apa yang berlaku
di Aceh serta kekacauan ugama di Indonesia itu sudahpun memberi beberapa bayangan.
Sukarno adalah legenda Indonesia yang kini membuat Megawati bersinar. Tidak
hairanlah rencana seperti ini keluar kerana jasa bapanya masih tidak pudar.
Rencana ini patut diselam kerana ia membongkar kisah silam yang amat berharga
betapa Sukarno dan seluruh rakyat Indonesia telah dimangsakan oleh Amerika, PBB
Britain, dan Malaysia sehingga ia kehilangan sesuatu yang berharga miliknya.
- Editor] http://www.wirantaprawira.de/mega/books/bab_1.htm
AWAL SEBUAH TRAGEDI UNGKAPAN berbagai peneliti mengenai "Gerakan 30 September
1965" di Indonesia, berbeda-beda. Antonie C.A. Dake dalam bukunya "In the Spirit of
the Red Banteng", mengungkapkan tragedi ini dengan banyak
mengacu kepada keterlibatan PKI sebagai perencana, Bung Karno
mengetahui dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai pensuplai
senjata untuk persiapan apa yang disebut Angkatan ke-V,
yang dituduhkan akan menjadi kekuatan bersenjata PKI.
Ada 22 juta sukarelawan yang sudah mendaftarkan diri di
Front Nasional, memenuhi seruan Bung Karno mobilisasi kekuatan
rakyat untuk mengganyang Malaysia. Mereka inilah katanya
yang akan disaring untuk dimasukkan ke dalam Angkatan ke-V.
Pembentukan Federasi Malaysia dirancang oleh Perdana
Menteri Inggeris, Harold McMillan, dan Perdana Menteri
Malaya, Tunku Abdul Rahman, dalam perundingan di London
pada bulan Oktober 1961 dan dilanjutkan bulan Juli 1962, itulah
yang mengawali provokasi politik dan militer meng-contain
Indonesia. Ganis Harsono , jurubicara Departemen Luar Negeri
R.l. selama 8 tahun di era Sukarno, menulis dalam bukunya
"Recollections of an Indonesian Diplomat in the Sukarno
Era" yang diterbitkan oleh University of Queensland Press,
Australia, tahun 1977 dan kemudian pada tahun 1985 diterbitkan
edisi Indonesianya oleh Inti Idayu Press Jakarta dengan
judul "Cakrawala Politik Era Sukarno", menulis bahwa
Inggris memberitahukan kepada Indonesia mengenai rencananya
membentuk Federasi Malaysia. Indonesia tidak menentang, karena
dipahami bahwa ide pembentukkannya ialah untuk memberikan
kemerdekaan kepada wilayah-wilayah jajahan Inggeris di Kalimantan
Utara. Tetapi setelah Presiden Macapagal dari Filipina
mengajukan tuntutan supaya dalam proses pemberian kemerdekaan
tersebut, wilayah Sabah dikembalikan kepada Filipina, karena
memang tadinya adalah wilayah kekuasaan Kasultanan Sulu di
Filipina Selatan yang dicaplok oleh Inggeris ketika menjajah
Kalimantan Utara, justru timbul reaksi keras dari Kuala Lumpur,
yang disampaikan oleh Duta Besarnya di Manila, Zaiton
Ibrahim, dengan mengatakan kepada Presiden Macapagal bahwa
situasi akan menjadi gawat, apabila Filipina menuntut wilayah
Sabah. Malahan Menteri Pertahanan Malaya, Najib Tun Razak,
memberikan reaksi yang lebih keras lagi: "Kami siap pergi
berperang mempertahankan Sabah dalam naungan Malaysia".
Tadinya Sabah hanya disewa oleh Inggeris dari Sultan Sulu,
Jamal Alam, yang akhirnya jatuh ke bawah penguasaan The
British North Borneo Company. Waktu itu Indonesia tidak memberikan reaksi apa-apa, diam
saja. Tapi pada tanggal 8 Desember 1962, setelah Azhari
yang dituduh memberontak di Brunai dan memproklamasikan
kemerdekaan Kalimantan Utara yang terdiri dari Brunai, Serawak dan
Sabah di Manila, di tempat mana ia melarikan diri bersama
teman-temannya, dan menyatakan dirinya sebagai Perdana Menteri
Negara Kalimantan Utara, cepat sekali Tungku Abdul Rahman menuding
Indonesia sebagai biang keladinya. Padahal duduk persoalannya, Azhari yang memimpin Partai
Rakyat Brunai, dalam Pemilihan Umum Agustus 1962, memenangkan 54
dari 55 kursi di Dewan Distrik dan 16 dari 33 kursi di Dewan
Legislatif. (1)
Apa yang dilakukan oleh Azhari setelah partainya ditumpas
dan dia dikejar--kejar sebagai pemberontak, ialah selalu
mengadakan kontak dengan Wakil Presiden merangkap Menteri Luar
Negeri Filipina, Immanuel Pelaez, dan sama sekali bukan
dengan Indonesia. Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI), Ali
Sastroamidjojo, memberikan reaksi menolak tudingan Tungku.
Tungku pun menjadi marah oleh adanya reaksi dari Ali
Sastroamidjojo dan langsung menyerang secara pribadi kepada Bung
Karno dengan mengatakan: "Jangan campuri urusan Kalimantan Utara!"
Serangan ini sebenarnya datang dari Inggeris, tapi Tungku
yang menjadi jurubicaranya. Oleh karena itu, pada bulan April 1963, Bung Karno di
hadapan Konperensi Wartawan Asia Afrika di Jakarta menjawab
ancaman Tungku dengan mengatakan: "Perjuangan rakyat Serawak,
Brunai dan Sabah, adalah bagian dari perjuangan negara-negara
"the new emerging forces" yang membenci penghisapan manusia
oleh manusia. Karena Jepang melihat bahwa proses pembentukan Federasi
Malaysia sudah menjurus pada kecurigaan Indonesia sebagai proyek
neokolonialisme Inggeris, maka pada tanggal 31 Mei sampai 1 Juni
1963, Tokyo menyediakan tempat pertemuan antara Presiden Sukarno
dan Perdana Menteri Tungku Abdul Rahman, untuk mengusahakan
pendekatan. Tujuannya ialah untuk menghilangkan kecurigean
mengenai rencana pembentukan Federasi Malaysia, yang terdiri dari
Federasi Malaya sebagai induknya digabungkan dengan Singapura dan
tiga wilayah lainnya di Kalimantan Utara. Pertemuan Tokyo menyepakati sebuah prinsip, yaitu tetap
memelihara Semangat Perjanjian Persahabatan Indonesia- Malaya
tabun 1959. Untuk merumuskan lebih lanjut hasil pertemuan Tokyo,
diadakan lagi pertemuan para Menteri Luar Negeri tiga negara,
yaitu: Indonesia, Malaya dan Filipina, di Manila dari tanggal 7
sampai 11 Juni 1963. Ketiga Menteri Luar Negeri itu, semuanya mempunyai jabatan
rangkap, yaitu: Subandrio di samping Menteri Luar Negeri, juga
Wakil Perdana Menteri I, Tun Abdul Razak, Menteri Luar Negeri dan
Deputy Perdana Menteri dan Immanuel Pelaez, Menteri Luar Negeri
dan sekaligus Wakil Presiden. Dalam pertemuan Manila, Indonesia dan Filipina menyatakan
tidak keberatan dibentuknya Federasi Malaysia, asal hal itu
dilakukan atas dasar Hak Menentakan Nasib Sendiri bagi
rakyat di wilayah- wilayah yang hendak digabungkan, dan ditentukan
oleh otoritas yang bebas dan tidak berpihak, yaitu Sekretaris
Jenderal PBB. Pertemuan itu juga mengembangkan pemikiran Presiden
Filipina, Macapagal, yaitu pembentukan Konfederasi tiga negara
serumpun Melayu yang disebut MAPHILINDO
(Malaysia-Philipina-lndonesia), gagasan yang langsung ditentang
oleh Amerika dan Inggeris. Ironisnya, dari Peking, Menteri Luar
Negeri Chen Yi menuduh MAPHILINDO sebagai proyek
Nekolim. Pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri ini, diperkuat dengan
diadakannya Konperensi Tingkat Tinggi antara Perdana Menteri
Tungku Abdul Rahman, Presiden Macapagal dan Presiden Sukarno yang
dilangsungkan di Manila dari tanggal 31 Juli sampai 1 Agustus
1963, yang hakekatnya hanya mengesahkan hasil-hasil yang telah
dicapai dalam pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri sebelumnya.
Dalam perundingan tersendiri antara Presiden Sukarno dan
Presiden Macapagal, disetujui apa yang dikenal dengan Doktrin
Sukarno - Macapagal yang menegaskan bahwa Masalah Asia supaya
diselesaikan oleh bangsa Asia sendiri.
Doktrin ini dengan serta merta ditolak oleh Amerika Serikat
dan Inggeris, karena dinilai dapat menggagalkan tujuan pembentukan
Federasi Malaysia yang dirancang di London yang sebenarnya untuk
meng-contain Indonesia. Hasil KTT Manila ternyata menggelisahkan London dan Kuala
Lumpur. Dengan adanya gagasan Presiden Macapagal yang mengusulkan
pembentukan Konfederasi MAPHILINDO dan doktrin Sukarno- Macapagal
yang menghendaki supaya masalah Asia diselesaikan oleh bangsa Asia
sendiri, maka anasir Inteligen Inggeris dan Malaysia melansir satu
berita bahwa Federasi Malaysia akan dibentuk pada tanggal 31
Agustus 1963, (2) mendahului pelaksanaan Persetujuan Manila yang
menghendaki supaya pembentukan itu dilakukan atas dasar Hak
Penentuan Nasib Sendiri dari rakyat bersangkutan, yang akan diatur
oleh Sekretaris Jenderal PBB, waktu itu U Thant.
(2) Dr. Hidayat Mukmin, TNI dalam politik luar negeri Studi kasus penyelesaian konfrontasi Indonesia - Malaysia, hal. 95. Dilansirnya berita itu, makin meyakinkan Indonesia bahwa
memang ada udang di balik batu dengan pembentukan Federasi
Malaysia yang dirasakan sebagai sangat tergesa-gesa.
Oleh karenanya, Sekjen PBB segera mengirimkan Misi PBB ke
Serawak dan Sabah untuk meneliti sejauh mana rakyat Kalimantan
Utara bersedia bergabung dalam Federasi Malaysia, seperti yang
dituntut oleh KTT Manila. Tapi Misi sudah distel demikian rupa,
dengan ketuanya diambilkan dari Amerika yaitu Laurence
Michaelmore, dibantu oleh delapan anggota yang diambilkan dari
berbagai negara. Indonesia, Malaya dan Filipina menyertakan juga
wakil-wakilnya sebagai peninjau. Karena Misi sedang bekerja, maka Kuala Lumpur berusaha
meredakan kemarahan Indonesia dan mengumumkan penundaan
pembentukan Federasi Malaysia sampai tanggal 16 September 1963,
yaitu tanggal yang diperkirakan Misi PBB sudah menyelesaikan
tugasnya dengan hasil yang menguntungkan London dan Kuala Lumpur.
Penundaan tanggal, dianggap oleh Indonesia sebagai proforma
belaka, karena hasilnya sudah ditentukan sesuai dengan keinginan
Kuala Lumpur dan London. Memang sebelum itu, Inggeris sudah mengadakan penjajagan di
Kalimantan Utara dengan sebuah komisi yang diketuai oleh Lord
Cobbold dan anggotanya terdiri dari: Sir Anthony Abell, Sir
David Watherston, Dato Wong Po Nee dan Enche Gazali bin
Sofie. Hasil penjajagan ini diumumkan dalam Report of the
Commission of Inquiry North Borneo and Serawak 1962 yang
menyebutkan:
Tapi ini semua adalah versi Komisi Cobbold. Sebelum
itu sudah ditentukan supaya diadakan Pakta Pertahanan antara
Inggeris dan Federasi Malaysia. Dengan demikian, dari segi pertahanan, Federasi Malaysia
dianggap oleh Inggeris lebih sederhana, karena Federasi dapat
dikelola bersama sebagai satu unit strategik. Karena
Federasi berada dalam lingkungan Persemakmuran Inggeris, maka
Inggeris berkewajiban tetap memberikan perlindungan militer.
Ketika Malaya baru merdeka, di sana hanya ada 2000 tentara
Inggeris dan Australia. Tapi setelah Federasi Malaysia dibentuk,
kekuatan Militer itu cepat ditambah menjadi 50.000. (3)
Strategi pertahanan ini mencemaskan Indonesia, karena
perlindungan militer Inggeris yang begitu besar, merupakan ancaman
serius bagi keamanan Indonesia. Apalagi dalam mempertahankan
Malaysia, sudah tersiar berita bahwa Inggeris akan mendapat
dukungan dari Pakta Pertahanan ANZUS (Australia - New Zealand -
United States), untuk menghadapi Sukarno yang sudah lama dicap
sebagai "trouble maker" di Asia, yang kegiatannya harus dicegah
jangan sampai merembet mempengaruhi negara-negara Afrika dan
Amerika Latin. Sebenarnya di Malaysia, Singapura dan British North Borneo
(Kalimantan Utara), terdapat kekuatan-kekuatan politik yang
menentang pembentukan Federasi Malaysia menurut konsep McMillan -
Tungku Abdul Rahman, tapi mereka ditindas sehingga tidak bisa
berbuat banyak. Kekuatan menentang pembentukan Federasi Malaysia di Malaya
ialah: Front Sosialis Malaya yang terdiri dari Partai Rakyat
Malaya dan Partai Buruh, serta Partai Islam
se-Malaya. Di Singapura: Barisan Sosialis, Partai Pekerja
dan Partai Rakyat. Di Kalimantan Utara: Partai Rakyat
Brunai dan Serawak United People's Party. Partai Rakyat
Brunai sejak 1956 di bawah pimpinan Azhari, sudah mempunyai
program hendak mengusir Inggeris dari Kalimantan Utara. (4)
4) Ibid hal. 115. Misi PBB yang dipimpin oleh Michaelmore, tanpa penyelidikan
seksama, langsung menyatakan bahwa rakyat Kalimantan Utara
(Serawak dan Sabah) menyetujui merdeka dalam Federasi Malaysia.
Hasil Kerja Misi PBB ini segera disahkan oleh Sekjen PBB.
Sebaliknya Indonesia, setelah mendengarkan laporan dari
peninjau-peninjaunya yang menyertai penyelidikan Misi PBB,
menuduh adanya kecurangan-kecurangan yang menyolok, sehingga
laporan Misi PBB itu tidak bisa dianggap sah.
Akibatnya, mudah dipahami. Karena Indonesia menolak hasil
penyelidikan Misi PBB yang disahkan oleh Sekjen PBB, ditambah lagi
tersiar berita bahwa sesudah Federasi Malaysia diresmikan pada
tanggal 16 September 1963, negara federasi baru itu segera akan
diterima menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, maka
Jakarta langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuala
Lumpur. Oleh perkembangan yang sangat cepat, dan usaha diplomatik
untuk mencoba meredamnya mengalami kegagalan, maka konfrontasi
Indonesia - Malaysia tidak terhindarkan lagi. Dr. Subandrio dalam
kedudukannya sebagai Wakil Panglima Besar KOTI (Komando Tertinggi
Indonesia) dan Kepala Badan Pusat Inteligen (BPI), mulai
menerjunkan gerilyawan di Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara,
untuk memberikan tekanan kepada Kuala Lumpur supaya mau merubah
sikapnya dengan mengemukakan aproach baru yang bisa
mengatasi deadlock. Malaysia didirikan tanpa ikut sertanya Brunai, sedang
Singapura yang tadinya. ikut bergabung, kemudian memisahkan diri
dan menyatakan dirinya merdeka sendiri.
Tapi tindakan Dr. Subandrio itu, justru memberikan alasan
kepada Inggeris dan sekutunya Pakta ANZUS untuk bersiap - siap
menyerang Indonesia, kemungkinan yang sebenarnya sudah lebih awal
disinyalir oleh Bung Karno. Sebelum itu, dalam bulan Oktober 1963, Presiden Kennedy
dari Amerika, mengirimkan surat kepada Presiden Sukarno yang
menganggap sikap Indonesia terhadap Malaysia, menempatkannya pada
posisi yang amat sulit untuk mewujudkan keinginannya membantu
usaha-usaha Indonesia ke arah pembangunan dan pemulihan
ekonominya. Setelah menerima surat tersebut, Presiden Sukarno langsung
mengadakan pertemuan dengan 10 orang menteri seniornya, yaitu:
Ir. Djuanda, Dr. Subandrio, Chaerul Saleh, Dr. J. Leimena,
Sudibyo, disertai dengan menteri-menteri militer yaitu:
A.H. Nasution, A. Yani, E. Martadinata, Omar Dhani dan
Sucipto. Pertemuan merumuskan jawaban yang paling tepat
untuk Surat Presiden Kennedy dengan sebuah kalimat yang tegas:
"Go to hell with American aid". (5)
(5) Ganis Harsono, Cakrawala Politik Era Sukarno, hal. 160 -161 Dengan surat Presiden Kennedy tersebut, makin menjadi jelas
bahwa bukan saja Inggeris, melainkan juga Amerika ikut ambil
bagian dalam merekayasa pembentukan Federasi Malaysia.
Tapi cara mengelola ketegangan akibat pembentukan Federasi
Malaysia, akhirnya menggiring Indonesia terjaring masuk perangkap
konfrontasi militer yang sudah dipasang oleh Inggeris dan Amerika.
Bung Karno segera melihat bahaya akan makin meningkatnya
eskalasi konfrontasi, maka berusaha mencari upaya
mengendorkannya dengan mengusulkan segera diselenggarakannya KTT 3
negara yang terkait. Upaya Bung Karno terlambat, karena segera sesudah itu, bom
waktu yang sudah lama dipasang oleh persekutuan Nekolim di
Indonesia, tidak bisa ditangkal lagi. Meletuslah "Gerakan 30 September 1965", yang mengundang
Amerika makin terang-terangan berkiprah melaksanakan rencana
menghancurkan revolusi Indonesia dan kepemimpinan Bung Karno yang
dijuluki oleh Barat sebagai "Hitler Baru" seusai Perang
Dunia II. Itulah lihainya Nekolim yang tidak secara dini bisa
diantisipasi. Meski pun demikian, pada bulan Februari 1966 Presiden
Sukarno masih menugaskan Duta Besar Keliling R.l., Supeni,
pergi ke Manila membicarakan dengan Presiden Ferdinand
Marcos yang sudah menggantikan Macapagal, mengenai perlunya
segera diadakan KTT MAPHILINDO dan minta supaya Filipina jangan
dulu memberikan pengakuan kepada Federasi Malaysia. Tujuan Bung
Karno untuk segera menyelenggarakan KTT MAPHILINDO, ialah
mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dan menyelesaikan
dispute Sabah yang di claim oleh Filipina, atas dasar
semangat MAPHILINDO. Tapi rencana Bung Karno ini, sebelum bisa dilaksanakan,
sudah kedahuluan dicegat oleh keluarnya Surat Perintah 11 Maret
1966 (SUPERSEMAR), yang berakibat kekuasaan berpindah ke tangan
Letnan Jenderal Soeharto sebagai pengemban SUPERSEMAR yang
segera saja melakukan penahanan terhadap menteri-menteri yang
penting, sehingga Presiden Sukarno kehilangan pembantu-
pembantunya dan Kabinet Baru harus dibentuk bersama Pengemban
SUPERSEMAR. Praktis Bung Karno sudah kehilangan kekuasaannya.
Dr. Suharto, dokter pribadi Bung Karno, dalam
bukunya "Saksi Sejarah" memastikan bahwa konfrontasi dengan
Malaysia tidak termasuk dalam calender of event Bung Karno
(6). Barangkali Komando Dwikora (konfrontasi dengan Malaysia)
adalah imposed (desakan) pihak lain, mungkin musuh dalam
selimut yang mengetahui psycho emosional Bung Karno. Dengan
menggunakan metode psycho analisa, dilakukan berbagai tipu
muslihat, yang bertujuan mempengaruhi Bung Karno dalam mengambil
keputusan melakukan suatu tindakan. (7)
Setelah Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan
Keamanan PBB, Indonesia memberikan reaksi yang sangat keras dan
langsung menyatakan keluar dari keanggotaan PBB, meski pun
disadari bahwa putusan ini adalah satu imbalan yang sangat mahal.
Putusan ini diumumkan oleh Bung Karno pada 7 Januari 1965 dalam
rapat umum Anti Pangkalan Militer Asing, di ISTORA Jakarta.
Pada awal Bab ini, sudah disinggung adanya 22 juta
sukarelawan yang mendaftarkan diri untuk melawan serbuan Inggeris
dan sekutunya ke Indonesia, jika konfrontasi mencapai puncaknya.
Tujuan seruan Bung Karno mengadakan mobilisasi kekuatan rakyat,
sangat jelas yaitu untuk apa yang dirumuskan secara populer:
Ganyang Malaysia!. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan
tuduhan sebagai persiapan untuk pembentukan Angkatan ke V.
Prosedur yang harus dipenuhi untuk pembentukan Lembaga semacam
itu, bukan saja belum pernah ditempuh, bahkan dibicarakan saja
dalam sidang Kabinet sebagai Lembaga kekuasaan eksekutif, DPRGR
sebagai Lembaga kekuasaan Legislatif, maupun dimintakan
pertimbangan dari Dewan Pertimbangan Agung, sebagai Lembaga Tinggi
Negara, belum pernah. Untuk membentuk Angkatan ke-V yang begitu prinsipil, tidak
mungkin dilakukan tanpa disetujui oleh ketiga Lembaga Tinggi
Negara seperti yang disebutkan di atas.
Gagasan Angkatan ke-V sebenarnya hanya move politik yang
dilontarkan oleh Bung Karno, yang ide pokoknya bertolak dari
ketentuan UUD 1945 pasal 30 tentang bela negara, dikaitkan dengan
gerakan "ganyang Malaysia". Hanya pihak pers tertentu yang
membesarbesarkannya dan meminta reaksi dari Menteri/ Panglima
Angkatan Darat yang tentu saja menentangnya. Dengan demikian, move
politik ini segera di ekspos seolah-olah Bung Karno sudah
memerintahkan pembentukan Angkatan ke-V, yang kemudian dituding
sebagai salah satu alasan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI.
Rekayasa lain untuk mencoba membuktikan keterlibatan Bung
Karno dalam G30S/PKI, ialah keterangan Brigadir Jenderal H.R.
Sugandhi, (ajudan Presiden 19481962) yang memberikan pengakuan
kepada Team Pemeriksa Pusat (TEPERPU) di bawah sumpah, bahwa ia
telah berbicara langsung dengan ketua CC PKI, D.N. Aidit,
dan sekretaris CC, Sudisman, pada tanggal 27 September
1965, di mana kedua tokoh PKI itu katanya memberitahukan kepadanya
bahwa PKI akan melakukan coup d'état atau tindakan untuk
membenahi revolusi Indonesia yang dirongrong oleh "Dewan
Jenderal". Rencana itu hendak dilaksanakan dalam tempo satu-
duatiga hari lagi. Sugandhi diajak ikut bergabung, karena kata
Aidit, rencana ini sudah diberitahukan kepada Bung Karno.
Sugandhi, katanya menolak ajakan itu. Dalam pengakuannya, ia mengatakan bahwa pada tanggal 30
September 1965, yakni sesudah tiga hari pembicaraannya dengan
Aidit dan Sudisman, dilaporkannyalah berita ini kepada Presiden
Sukarno di Istana Merdeka. Menurut pengakuan Sugandhi, Bung Karno
tidak mau percaya pada laporan itu, bahkan Bung Karno menuduhnya
"PKI-phobi". Dikatakan dalam pengakuan itu, pada tanggal yang sama, ia
melaporkan juga pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman, kepada
Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal A. Yani.
Namun tidak dijelaskan bagaimarra jawaban atau perintah A. Yani
sebagai reaksi atas laporan tersebut. Menurut Sugandhi, pada tanggal 1 Oktober 1965, ia
melaporkan juga kepada Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan
Jenderal A.H. Nasution. Juga tidak dijelaskan apa reaksi
Jenderal Nasution. Bila diteliti dengan seksama, pengakuan di bawah sumpah
Brigadir Jenderal H.R. Sugandhi tersebut, terasa sangat aneh dan
mengandung tanda tanya. Dia diketahui sebagai seorang prajurit
pilihan sehingga diangkat menjadi Jenderal, di samping juga ia
orang terhormat sebagai anggota MPRS/DPRGR.
Mengapa dikatakan sangat aneh dan mengandung tanda tanya,
karena pertama, menurut akal sehat, tidak mungkin
seseorang, apalagi seorang ketua CC PKI dan sekretaris CC, begitu
saja membicarakan suatu rencana yang kadar kerahasiaannya
paling tinggi, kepada seseorang, apalagi dari jajaran pihak
lawannya. Kedua, sudah begitu rapuhkah semangat Sapta Marga
dan Sumpah Prajurit dalam diri seorang prajurit pilihan, sehingga
suatu informasi yang kadar nilainya sangat tinggi, serta diperoleh
secara langsung dari pimpinan PKI yang paling kompeten, harus
disimpan sendiri selama tiga kali 24 jam baru disampaikan kepada
atasannya, di mana suhu politik dalam negeri waktu itu sedang
panas? Apakah ini suatu kelalaian atau suatu kesengajaan?
Ketiga, makna apa yang tersirat dalam sentuhan hubungan
antara Brigjen Sugandhi dengan Aidit dan Sudisman, yang
masingmasing sebagai ketua CC PKI dan Sekretaris Jenderal CC?
Dapat dimengerti bahwa pada tahun-tahun awal sesudah
terjadinya G30S/PKI, suasana masih dalam serba emosional, sehingga
pertimbangan kelayakan satu informasi kadang-kadang
subyektivitasnya lebih menonjol. Apa lagi tidak dibentuk satu
Komisi yang ditugaskan untuk memeriksa benar tidaknya pengakuan
Sugandhi tersebut, yang akhirnya pengakuan ini digunakan untuk
memvonis Sukarno terlibat G30S/PKI. Sebaliknya, Sugandhi mendapat
nama baik. Sidang Istimewa MPRS 7 Maret 1967 yang anggota-anggotanya
banyak dipecat dan diganti serta ditambah dengan orang-orang yang
menguntungkan, termasuk pimpinan lama diganti dengan Jenderal A.H.
Nasution sebagai ketua baru, itulah yang mencabut mandat Ir.
Sukarno sebagai Presiden, serta melarangnya melakukan kegiatan
politik. Dan apa yang terbukti kemudian?
Sesudah nasi menjadi bubur, komandan Detasemen Kawal
Pribadi Presiden Sukarno, Letnan kolonel polisi H. Mangil
Martowidjojo, baru mengungkapkan dengan mengemukakan
bukti-bukti bahwa keterangan Sugandhi di bawah sumpah itu,
sepenuhnya kebohongan dan fitnah. (8)
Memang sayang sekali Mangil tidak segera menyampaikan
kebohongan Sugandhi kepada Bung Karno, padahal ia sudah mendengar
"Geruchten" (desas-desus)nya, jauh sebelum Sukarno
dijatuhkan oleh MPRS. Mangil mengatakan, karena ia penasaran, maka tanggal yang
disebutkan oleh Sugandhi melaporkan hasil pembicaraannya dengan
Aidit dan Sudisman kepada Presiden, yaitu tanggal 30 September
1965, diperiksanya kembali buku catatan tamu Istana, apakah betul
waktu itu Sugandhi datang. Ternyata tidak ada nama Sugandhi masuk
Istana pada hari itu. Bukan saja Mangil yang selalu mengawal Bung
Karno tidak melihat Sugandhi menemui Presiden hari itu, juga di
buku catatan tamu yang harus diisi oleh setiap tamu yang masuk
Istana, baik ia tamu dipanggil atau tamu yang mendadak datang,
nama Sugandhi tidak ada. Di "wachtrooster" (buku jaga) yang
harus diisi oleh setiap tamu sesuai dengan peraturan yang
ditentukan oleh ajudan, mau pun dalam buku Detasemen Kawal Pribadi
yang selalu memasukkan dalam catatan semua tamu yang masuk Istana,
tidak ada nama Sugandhi pada 30 September 1965 masuk Istana.
Beberapa hari sesudah meletusnya Gerakan 30 September,
melalui Menteri Penerangan Ahmadi, Bung Karno berpesan
supaya Sugandhi datang ke Istana Bogor, karena Bung Karno
memerlukan masukan mengenai gerakan tersebut, tapi ia tidak mau
datang. Bahkan berkata kepada Ahmadi supaya menyampaikan kepada
Bung Karno kalau ia tidak berhasil menemuinya.
Sesudah penolakan Sugandhi atas panggilan Bung Karno, pada
suatu hari ia datang ke Istana Jakarta, saat Bung Karno sedang
berolahraga pagi jalan kaki mengelilingi Istana diikuti oleh
beberapa anggota staf Istana dan para pengawal. Sugandhi terus
bergabung dengan rombongan dan dari belakang Bung Karno, ia
melaporkan kehadirannya. Tapi mengetahui kedatangan Sugandhi ini,
Bung Karno malah langsung memerintahkannya supaya keluar.
"Deruit, deruit" perintah Bung Karno. Karena Sugandhi belum
juga keluar dan masih terus mengikuti dari belakang, sekali lagi
Bung Karno memerintahkannya supaya keluar. Barulah Sugandhi
keluar. Kata Mangil: Rasanya koq tidak masuk akal dan tidak logis
Aidit dan Sudisman sembarangan begitu saja memberitahukan
rencananya yang begitu rahasia kepada orang yang tidak sepaham.
Kecuali kalau Sugandhi itu memang orang PKI".
Meski pun Mangil terlambat mengungkapkan fitnah terhadap
Bung Karno ini, tapi ungkapan itu sama sekali tidak berkurang arti
pentingnya, karena ia menambah satu bukti lagi dari sekian banyak
bukti yang sudah ada, bahwa Bung Karno digulingkan melalui
rakayasa yang skenarionya sudah dirancang demikian rupa.
Keterangan lain yang menarik, dikemukakan oleh Prof.
Peter Dale Scott, seorang diplomat Kanada, Guru Besar dan
Doctor dalam ilmu politik, ketika ia diundang pada bulan Desember
1984 untuk mengemukakan makalahnya dalam sebuah forum di
"University of California", Berkeley, yang dihadiri juga
oleh tokoh-tokoh terkemuka antaranya terdapat bekas direktur CIA
periode 1962- 1966 untuk bagian Timur Jauh, di mana ia membahas
sebuah judul "The United States and the Overthrow of Sukarno,
19651967" - Amerika Serikat dan penggulingan Sukarno, 19651
967. la memulai uraiannya dengan mengatakan bahwa subjek yang
akan dibahasnya, adalah subjek besar tapi menjengkelkan, karena
kisah yang lengkap mengenai periode yang rumit dan kurang
dimengerti ini, akan tetap berada di luar jangkauan analisis
tertulis yang paling lengkap sekali pun. Banyak yang telah
terjadi, tidak mungkin bisa didokumentasi, sedang catatan-catatan
yang bisa diselamatkan, banyak hal yang bersifat kontroversial
yang tak mungkin diverifikasi. Namun demikian, setelah pertimbangan-pertimbangan tersebut
dikemukakan, maka intisari kisah yang rumit dan bermakna ganda
itu, mengenai suatu tragedi yang berdarah. Setelah mempelajari
referensi-referensi yang ada, sebenarnya bersifat sederhana saja
dan lebih mudah dimengerti ketimbang keterangan-keterangan
akademis dari sumber-sumber Indonesia mau pun Amerika Serikat.
Kesimpulan dari keterangan-keterangan mereka yang bersifat
problematis itu, hanya mengatakan bahwa pada musim gugur 1965,
golongan kiri di Indonesia telah menyerang pihak kanan yang
menyebabkan diadakannya restorasi kekuasaan dan pembantaian
golongan kiri oleh golongan tengah. Peter Dale Scott memberikan catatan betapa sukarnya
melakukan analisis yang pada pokoknya hanya bersandar pada apa
yang dinamakan bukti-bukti yang disajikan dalam sidang-sidang
Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB) yang bertentangan dengan
studi CIA 1968, yang agak kurang bersifat khayalan. (9)
Maka pada waktu Amerika Serikat di tahun 1966 telah
memperoleh keyakinan bahwa Soeharto telah berhasil mengesampingkan
Sukarno dan menghancurkan PKI, pemerintah Amerika secara mencolok
memberi selamat kepada penguasa baru, karena telah
melakukan suatu tugas dengan baik sekali.
Meski pun demikian, Brands mengatakan bahwa penggulingan
Sukarno, tidak ada hubungannya dengan Amerika Serikat, padahal
diakuinya bahwa selama beberapa bulan, pejabat-pejabat Amerika
Serikat telah mendesak pihak Tentara di Indonesia supaya
bertindak, tapi tidak berhasil. Pada musim panas 1965 (sebelum
G30S), kelihatan Pemerintah Johnson sudah putus asa.
Selama satu dekade lebih, Sukarno dapat mengatasi beberapa
tantangan, termasuk affair 17 Oktober 1952, satu kup yang tidak
langsung, di mana A.H. Nasution hendak memaksa Sukarno mem-
bubarkan kekuasaan Eksekutif dengan jalan membubarkan kekuatan-
nya di Parlemen, untuk memberikan peluang bagi Tentara supaya bisa
tampil. Sukarno berhasil menggagalkan pemberontakan di Sumatera
(PRRI) yang dibantu oleh CIA dengan 300 orang tentara Amerika,
Filipina dan Tiongkok Nasionalis, lengkap dengan pesawat udara
transport dan Bomber B-26. (10)
Geoffrey Robinson (Boston, Massuchusetts) dalam
makalahnya (1990) yang berjudul "Some Arguments Concerning U.
S. Influence and Complicity in the Indonesian Coup of October 1,
1965 - Beberapa argumen mengenai keterlibatan A.S. dalam
kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia--, mengatakan bahwa sejak dari
awal, "Gerakan 30 September" itu kelihatannya seperti sebuah kup
yang direncanakan untuk gagal, kudeta itu di disain sedemikian
rupa sehingga mampu menyimpan sebush dalih untak mengadakan suatu
pameran kekuatan dan meraih kekuasaan.
Kata Geoffrey Robinson, laporan CIA yang menyatakan PKI lah
penanggungjawab tunggal atas kup, adalah hal yang sukar didukung.
Tapi logika argumentasi yang dikemukakannya, tidak membuang sama
sekali kemungkinan adanya peran PKI. Dikatakan, baik strategi yang
digunakan maupun bukti dorongan yang membawa PKI ke dalam
peristiwa tersebut, semuanya menunjukkan kecenderungan bahwa
keikut-sertaan PKI, tidak lebih dari sesuatu yang marginal,
lebih banyak didorong oleh kesalahan informasi mengenai rencana
coup d'état "Dewan Jenderal". Dengan mengutip
Mortimer, ia menyimpulkan bahwa asal-usul Gerakan 30
September hendaklah dicari dalam kegiatan kelompok perwira
dissident (berpendapat lain) Divisi Diponegoro. Bukan suatu
koinsidensi (kebetulan) bahwa hasil kudeta itu ialah
kehancuran PKI, jatuhnya Sukarno dan tampilnya Angkaran Darat
sebagai pelaku politik kunci, pembukaan kembali pintu Indonesia
bagi investasi modal asing dan reorientasi politik luar negeri
Indonesia persis seperti apa yang selama beberapa tahun
direncanakan dalam berbagai macam skenario kebijaksanaan, berbagai
prospektus politik dan berbagai laporan situasi yang disiapkan
oleh National Security Council, State Department dan
"country team" Kedutaan Besar Amerika di Jakarta.
Kekurang-jelian PKI menilai kebenaran informasi yang
diterimanya sekitar rencana coup d'etat "Dewan Jenderal" sehingga
langsung mempercayainya dan bertindak mendahului, itulah yang
menghantarkan partai ini ke liang kehancurannya.
Argumentasi yang dikemukakan oleh Geofrey Robinson untuk
mendukung kesimpulan di atas, ialah kenyataan bahwa coup d'etat
tampil pada saat titik kritis polarisasi antara Angkatan Darat di
satu pihak dan apa yang disebutnya aliansi Sukarno-PKI di pihak
lain. Sedang faktor-faktor lain yang dimanipulasi, antaranya
intervensi Amerika Serikat di Vietnam Utara dengan memulai
pemboman, dukungan Amerika Serikat kepada Inggris mengenai
konfrontasi Malaysia, serangan terhadap Sukarno oleh
anggota-anggota Kongres dan tulisan-tulisan pers Amerika yang
provokatif untuk memancing kemarahan Sukarno dan PKI agar
menyerang balik. Dalam keadaan demikian, tidak banyak lagi apa
yang harus dilakukan oleh Amerika, karena semuanya sudah
dikerjakan dengan terjadinya polarisasi "kanan" dan "kiri" yang
telah ditingkatkan oleh kedua belah pihak.
Pola umum yang tampil dari studi atas periode ini,
mempunyai dua dimensi yang saling berhubungan.
Pertama, kegiatan agen-agen Amerika yang sengaja
mengembangkan sejenis politik tertentu terhadap Indonesia yang
sedang berada dalam polarisasi politik yang sudah serius. Jenis
politik itu ialah merupakan tekanantekanan ekonomi dan tekanan-
tekanan lainnya secara selektif dengan tujuan melemahkan yang
"kiri" dan memperkuat yang "kanan" -- yang disebut sebagai sahabat
kita". Kedua, bulan-bulan terakhir menjelang kudeta, para
penasehat Amerika Serikat, sudah sampai pada titik mem-
pertimbangkan pembalasan militer langsung terhadap
pemerintah Sukarno, karena cara lain dianggap sudah gagal secara
essensial, termasuk perebutan kekuasaan oleh Tentara,
sebuah rencana yang diharap-harap dan lama direnungkan oleh
Amerika; sebagai jawaban atas ancaman "kiri" yang menghantui.
(11) "The CIA and the White Paper on El-Salvador", The Nation April 11, 1981, hal. 423. Dengan pengakuan-pengakuan yang diuraikan di atas, jelas
menunjukkan bahwa keterlibatan Amerika Serikat dengan ClA-nya
dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, dengan sasaran pokoknya
menghancurkan PKI dan menggulingkan Sukarno, tidak terbantah lagi.
Bagi kita di Indonesia, tentu lebih mudah memahami
peristiwa itu karena ikut mengalaminya, meski pun
pengalaman-pengalaman itu tidak semua bisa dikemukakan secara
terbuka. Sebagai pelengkap, berbagai referensi berupa bukubuku atau
tulisan-tulisan, telah diterbitkan. Misalnya, buku yang ditulis
oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (Kepala Pusat Sejarah
Militer AD), Soegiarso Soerojo (Seorang Intel), Memoir
Jenderal Yoga Sugomo, seorang yang sangat berpengalaman di
bidang Intel dan mantan kepala BAKIN serta banyak buku lainnya
yang umumnya menunjuk biang keladi G30S: PKI, Bung Karno dan RRT.
Tidak satu pun yang menyebutkan keterlibatan Amerika Serikat.
Bahkan sudah di-release film "Pengkhiatan G30S/PKI" yang
setiap tanggal 30 September ditayangkan ulang di TVRI, meski pun
efeknya seperti angin ribut yang lekas berlalu.
Sayangnya di Indonesia sendiri, meski pun sudah 30 tahun
kejadiannya, belum pernah diselenggarakan SEMINAR yang dapat
mengungkapkan peristiwa itu secara utuh dan objektif, bahkan
terasa masih tabu. Sebuah analisis yang tajam dikemukakan oleh Bung Karno
dalam "Pelengkap Nawaksara" yang disampaikannya kepada MPRS 10
Januari 1967, sebagai Pelengkap "Amanat Nawaksara" mengenai
terjadinya G30S sebagai berikut: "Berdasarkan penyelidikanku yang seksama, menunjukkan bahwa
peristiwa Gerakan 30 September itu, ditimbulkan oleh pertemuannya
tiga sebab, yaitu:
Ketiga sebab yang disebutkan oleh Bung Karno itu meski pun
tidak diperinci, tapi dari hasil penelitian yang luas di kemudian
hari, membuktikan kebenarannya. Kebelingeran pemimpin-pemipin PKI, diakui oleh tokoh-tokoh
PKI sendiri, yang akan diuraikan pada bab berikut.
Kelihaian subversi Nekolim, dibenarkan oleh begitu banyak
pengakuan tokoh-tokoh Barat dan Amerika, dan dokumen- dokumen
resmi yang terungkap mengenai keterlibatan Amerika Serikat dan CIA
di Indonesia. Terakhir, dalam bulan Desember 1992 di Monash University
Melburne, Australia, telah diseminarkan topik yang bertema
"Indonesian Democracy 1950's and 1990's". Prof. George McT.
Kahin dari Cornell University (AS), adalah salah
seorang dari 300 pakar tentang Indonesia yang ambil bagian dalam
Seminar itu, mengemukakan terus terang dalam makalahnya "Impact
of US Policy on Indonesian Politics" (Dampak kebijaksanaan
politik Amerika Serikat terhadap Indonesia), betapa jelas campur
tangan pemerintah Amerika Serikat dalam soal-soal politik
Indonesia, karena kekhawatiran Washington tentang kemungkinan
Indonesia jatuh ke tangan komunis. Dengan mengutip catatan mantan Duta Besar Amerika untuk
Indonesia, Hugh S. Cumming Jr, yang tersimpan di Arsip
Nasional Amerika, Prof. Kahin mengatakan bahwa Presiden Dwight
Eisenhower meminta Cumming supaya waspada atas kenyataan
sebuah negara seperti Indonesia yang katanya merupakan masalah
besar karena tidak mempunyai tradisi memerintah sendiri, sehingga
bisa jatuh ketangan komunis atau terpecah-pecah menjadi bagian
lebih kecil. Dalam konteks perang dingin, Eisenhower lebih suka memilih
Indonesia terpecah-pecah ketimbang jatuh ke tangan komunis. Maka
setelah Cumming bertugas di Indonesia, Presiden Eisenhower
memerintahkan supaya merealisasikan keinginannya meredam kemajuan
komunis dengan memperhatikan dua perkembangan di lapangan.
Pertama, sikap Sukarno yang dinilai lebih dekat
dengan Beijing, lebih-lebih setelah mengunjungi RRT di tahun 1956,
ia mengagumi dan ingin meniru kemajuan Cina dalam mem- bangun
ekonominya. Kedua, PKI dalam PEMILU 1955 meraih 20,6% suara di
Jawa dan malah 27,4% dalam pemilihan tingkat propinsi bulan Juli
dan Agustus 1957. Perkembangan ini meningkatkan kecemasan Washington tentang
kemungkinan Jawa jatuh ke tangan komunis. Malahan Kahin mengakui,
masih banyak arsip Amerika Serikat mengenai keterlibatan CIA di
Indonesia yang sampai sekarang masih dirahasiakan, meski pun sudah
melewati batas waktu kerahasiaan 30 tahun.
Dengan premis bahwa komunis di Jawa sudah menjadi suatu
mayoritas absolut, maka Badan Keamanan Nasional mendorong CIA
membantu memperkuat gerakan pemberontakan di daerah- daerah.
Menurut perhitungan Washington, sekiranya pemberontak kuat karena
mendapat bantuan Amerika Serikat, maka bisa terjadi perang saudara
dan Amerika Serikat pasti memihak kekuatan anti komunis.
Dalam makalahnya sepanjang 31 halaman itu, Kahin
mengungkap-kan, CIA kemudian segera beraksi dengan menghubungi
tokoh-tokoh miiiter pembangkang di daerah. Hanya dalam tempo 1
minggu, seorang agen CIA tiba di Padang untuk menyerahkan dana
kepada Kolonel Simbolon sebagai bantuan bagi pasukannya
yang digulingkan di Sumatera Utara. Kolonel Simbolon dan beberapa perwira staf Letnan
Kolonel Ahmad Husein, komandan tentara di Sumatera Barat,
diundang oleh CIA ke pangkalannya di Singapura, kemudian diikuti
dengan pengiriman senjata dan dana dalam jumiah besar ke Padang.
Lima bulan kemudian, Amerika Serikat memberikan alat
komunikasi dan persenjataan modern kepada 8000 pemberontak di
Sumatera. Bantuan itu diserahkan secara sembunyi-sembunyi dan
pemberontak mengambilnya sendiri dari kapal selam yang nongkrong
di lepas pantai Padang. CIA juga membawa sejumlah anak buah letnan kolonel Ahmad
Husein untuk dilatih komunikasi dan penguasaan menggunakan
senjata-senjata modern di berbagai fasilitas militer Amerika
Serikat di Pasifik Barat. Amerika Serikat juga memberikan bantuan serupa kepada
pemberontak PERMESTA di Sulawesi. Tapi bantuan dana dan senjata
Amerika Serikat kepada gerakan pemberontak di Sumatera dan
Sulawesi, ternyata tidak cukup kuat untuk memaksa Sukarno dan
Pemerintah Jakarta memenuhi keinginan Washington.(12)
(12) Laporan wartawan "KOMPAS' Ratih Hardjono dan Rikard Bagun yang meliput jalannya Seminar diAustralia, "KOMPAS" 21 Desember 1992, Jakarta. Uraian Prof. George McT. Kahin sangat menarik para
peserta seminar. Campur tangan Amerika Serikat di Indonesia tidak
bisa dibantah lagi, karena yang mengemukakan tokoh Amerika sendiri
dan klimaksnya ialah keterlibatan negara Uncle Sam ini dalam
perencanaan dan pencetusan Gerakan 30 September 1965 yang berhasil
mengguling- kan Sukarno dan menghancurkan PKI.
Amerika Serikat yang menjadikan dirinya Polisi Dunia,
fungsi yang seharusnya hanya menjadi milik PBB, di manamana terus
mencampuri urusan dalam negeri negara lain.
Kenyataan bahwa 20 Januari 1993, hanya beberapa jam sebelum
Presiden George Bush melepaskan jabatannya dan menyerahkan
tongkat kepresidenan kepada penggantinya yang menang dalam
Pemilihan Umum, Bill Clinton, ia masih melancarkan
aktifitasnya yang terakhir, mendesak pemerintah-pemerintah di
seluruh dunia supaya mendukung usaha yang dirintisnya yaitu
menggulingkan Presiden Irak, Saddam Hussein, membuktikan
betapa tradisi Amerika Serikat campur tangan urusan dalam negeri
negara lain, makin melembaga dan tidak lagi dijalankan secara
diam-diam. Pembantu Pusat Keamanan Presiden Bush, Brent
Scowcraft, dengan terang-terangan mengakui bahwa Washington
memang telah mendukung usaha coup d'etat terhadap Saddam
Hussein. (13)
(13) Disiarkan oleh Kantor Berita "Reuter" dan "AFP" pada tanggal 21 Januari 1993 Apa yang dilakukan oleh Bush terhadap Saddam Hussein, itu
pula yang telah dilakukan Amerika Serikat terhadap Sukarno sejak
1956 dan akhirnya sukses pada tahun 1966.
|