Laman Webantu KM2A1: 5127 File Size: 92.7 Kb * |
KBYB: B6 - Campur Tangan CIA dan KGB By Manai Sophiaan 1/8/2001 11:48 am Wed |
[Rencana yang amat panjang ini menunjukkan bagaimana Amerika
dan KGB sebegitu jelas mencampuri hal-ehwal negara Indonesia
sehingga tergamak mengorbankan nyawa mereka yang tidak berdosa.
Akibatnya Indonesia musnah sampai sekarang dan huru-hara ugama
dan kaumnya tidak kunjung reda. Alangkah dahsyatnya kesan CIA dan
KGB di sana.... mereka menyumbang dana dan senjata serta menghasut
rakyat dengan pelbagai propaganda yang cemar supaya rakyat sentiasa
berbunuhan dan pemerintah terpaksa tunduk dan menerima kehadiran
mereka. Selain itu mereka dapat pula bertapak, menjual senjata dan
mengembangkan pengaruh di Indonesia. Sila maklum latihan bersama tentera adalah salah satu cara untuk
mendampingi kerajaan..... selain dari cuba berkempen agar membeli
teknologi mereka.
CAMPUR TANGAN CIA DAN KGB
SEORANG Peneliti tentang Indonesia, Gabriel Kolko, mengungkapkan
dalam laporannya dengan mengutip dokumen-dokumen
State Department (Kementerian Luar Negeri A.S.) dan CIA (Central
Intelligence Agency) mengenai debat tentang peranan Amerika Serikat
dalam kasus Gerakan 30 September 1965 di Indonesia, mengemukakan
keterlibatan A.S. yang isinya sangat mengejutkan dan berbeda
sekali dengan apa yang kita ketahui melalui sumber resmi. Dokumen
yang digunakannya antara lain mengutip arsip dari perpustakaan
mantan Presiden A.S., Lindon B. Johnson yang sudah diumumkan
Tuduhan letnan kolonel Untung tentang keterlibatan CIA di Indonesia,
dibenarkan oleh dokumen-dokumen yang terungkap di A.S.
Ke-tidak-senangan Amerika terhadap Bung Karno dan Republik
Indonesia yang dipimpinnya, sudah muncul ketika kunjungannya
yang pertama ke negara Uncle Sam pada bulan Mei 1956 Waktu
itu Bung Karno menjelaskan kepada Menteri Luar Negeri A.S.,
John Foster Dulles, dasar politik Indonesia "Kami tidak mempunyai
hasrat untuk meniru Uni Sovyet, juga tidak mau mengikuti dengan
membabi buta jalan yang direntangkan oleh Amerika untuk kami.
Kami tidak akan menjadi satelit dari salah satu blok, kata Bung Karno
kepada Menlu Dulles.
Tapi politik seperti ini mudah sekali disalah-artikan oleh Amerika.
Amerika hanya menyukai apabila kita memilih pihak seperti yang
dikehendakinya. Kalau tidak sependirian dengan dia, secara otomatis
dianggapnya tergolong dalam blok Uni Sovyet.
Jawaban yang tajam datang dari John Foster Dulles: "Politik Amerika
Serikat bersifat global. Suatu negara harus memilih salah satu pihak.
Aliran yang netral adalah immoral (tidak bermoral)," katanya.
Ini dialog antara Bung Karno dengan Dulles :
Kemudian Bung Karno menyampaikan isi hatinya kepada Presiden
Eisenhower yang mengaku kesenangannya nonton film koboi, yang
dilakukannya tiap malam.
Lebih dulu Bung Karno mengatakan bahwa ia menonton film hanya
3 kali seminggu dan yang disukainya ialah film-film yang menceriterakan
pengalaman sejarah dan biografi.
Di antara adegan-adegan dalam film Amerika, menunjukkan bahwa
A.S. tidak dapat memahami masalah Asia. Benua Asia sekarang
sedang "dimabuk" kemerdekaan. Seluruh benua itu merasakan
kemerdekaan dengan kegembiraan yang amat sangat. Jadi, tolonglah
sampaikan kepada rakyat Amerika agar memahami, bahwa jikalau
suatu bangsa selama hidupnya menderita kepahitan hidup; kutukan,
laknatan dan penindasan terhadap hasrat untuk merdeka, maka ia
tidak akan melepaskan kemerdekaan itu lagi, apabila sekali telah
berhasil merebutnya.
"Sebagai sahabat yang bijaksana dan lebih tua, jika Amerika
memberi kami nasehat, itu bisa! Akan tetapi mencampuri
persoalan kami, jangan! Kami telah menyaksikan kapitalisme dan
demokrasi Barat pada orang Belanda. Kami tidak mernpunyai keinginan
untuk memakai sistim itu. Kami akan menumbuhkan suatu cara baru
yang hanya cocok dengan kepribadian kami. Ia bukanlah barang yang
bisa diekspor ke luar, akan tetapi sebaliknya juga kami tidak bisa
menerima bararig impor berupa ajaran yang mengikat". 32)
Demikian Bung Karno.
32) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 409-410
Lama sebelum itu kekhawatiran Amerika terhadap kepemimpinan
Sukarno di Indonesia, sudah nampak. Mulamula Amerika terkejut,
begitu cepat persetujuan KMB yang arsiteknya Amerika, dibatalkan
begitu saja oleh Indonesia secara sepihak.
Peter Dale Scott mengatakan, nampaknya sudah sejak 1953,
Amerika berkepentingan untuk membantu mencetuskan krisis regional
di Indonesia, yang telah diakui sebagai penyebab langsung yang
merangsang Sukarno untuk pada tanggal 14 Maret 1957 meniadakan
sistem Parlementer di Indonesia dan menyatakan berlakunya keadaan
darurat militer, serta memasukkan korps perwira secara legal ke dalam
kehidupan politik.
Pada tahun 1953, Menteri Luar Negeri John Foster Dulles sudah
mengatakan kepada Duta Besar Amerika di Jakarta, Hugh S. Cumming Jr,
supayà dia jangan berbicara tidak bisa menarik kembali politik keterikatan
Amerika memelihara persatuan Indonesia. Dipeliharanya persatuan
sesuatu bangsa bisa menimbulkan bahaya, sebagai contohnya: Cina. 33)
Program aksi politik khusus yang mendukung pemberontakan regional,
secara resmi telah disetujui di Washington pada bulan Nopember 1957.
Tapi perwiraperwira dan agen-agen CIA sudah melakukan kegiatan di
kalangan kaum pembangkang, jauh sebelum itu. 34)
Keputusan NSC (National Scurity Counsil) 171/1 20 Nopember 1953,
sudah mempertimbangkan latihan-latihan militer sebagai suatu cara
meningkatkan pengaruh Amerika Serikat, walau pun usaha-usaha
utama CIA ditujukan kepada partai-partai politik moderat sayap kanan,
khususnya MASYUMI dan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Jutaan dollar
yang telah dituangkan oleh CIA kepada kedua partai itu dalam pertengahan
1950, merupakan faktor yang berpengaruh atas peristiwa 1965,
di mana seorang bekas kader PSI, Syam (Kamaruzzaman) didalihkan
sebagai otaknya G30S/PKI. 35)
Slanjutnya Peter Dale Scott mengatakan bahwa di tahun 1957-1958,
CIA telah menginfiltrasikan senjata-senjata dan personil dalam mendukung
pemberontakan regional PRRI/PERMESTA melawan Sukarno.
Sebuah pesawat terbang militer A.S. (B25) ditembak jatuh oleh APRI
di Ambon dan pilotnya seorang penerbang Amerika, Allan Pope,
ditangkap. Usaha-usaha CIA ini didukung oleh sebuah task force
lepas pantai dari Armada ke-VII (AL A.S.)
33) Peter Dale Scott mengutip Mosley (1978) hal. 437.
34) Memorandum 7 April 1961 dari Direktur CIA, Allen W. Dulles,
Hal. 1: Indonesia 22 (Oktober 1976) hal. 168.
35) Peter Dale Scott mengutip studi CIA hal. 107 dan Wertheim
(1979) hal. 203.
Dalam tahun 1957, suatu Komisi Khusus Senat yang mempelajari
kegiatan CIA, telah menemukan apa yang dinamakanya "beberapa
bukti tentang keterlibatan CIA dalam rencana hendak membunuh
Presiden Sukarno". Tapi setelah melakukan suatu pemeriksaan awal
atas usaha pembunuhan itu, komisi memilih sikap untuk menghentikan
pemeriksaanya. 36)
Sebenarnya Bung Karno mengetahui semua rencana ini meski pun
tidak terperinci dari laporan-laporan Intelligen dan membacanya
dari surat-surat kabar Amerika yang sering membocorkan rahasia,
misalnya majalah "US World and News Report" sering disebut oleh
Bung Karno sebagai salah satu sumber informasinya.
Memang Bung Karno sering mendapat pertanyaan, apakah sikapnya
anti Amerika? Bung Karno menjawab: "Bertahun-tahun lamanya aku
sangat ingin menjadi sahabat Amerika, akan tetapi sia-sia". 37)
36) Dokumen-dokumen yang di-deklasifikasi, 1982, 002386,
seperti yang dikutip oleh Peter Dale Scott
37) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 430.
Puncak penghinaan Amerika terhadap Bung Karno terjadi pada tahun
1960, ketika ia diundang mengunjungi Washington oleh Presiden
Dwight Eisenhower. Pertama sudah terasa, ketika Bung Karno
mendarat di lapangan terbang Washington, Presiden Eisenhower
tidak datang menyambutnya seperti yang menjadi kelaziman protokol
kenegaraan yang berlakù waktu itu. Dengan kejadian ini, Bung Karno
belum berkata apa-apa. Kemudian ia menuju Gedung Putih dan
mengira bahwa Eisenhower akan menyambutnya di pintu Gedung Putih.
Tapi ternyata tidak juga. Terhadap periakuan ini pun Bung Karno masih
sabar, karena mungkin Eisenhower terlalu sibuk dan tidak bisa meninggalkan tempatnya.
Tapi ketika Eisenhower membiarkan Bung Karno menunggu di luar,
di ruang tunggu, Bung Karno merasa, ini sudah keterlaluan. Setelah
menunggu hampir satu jam, dengan tajam ia menyampaikan kepada
protokol: "Apakah saya harus menunggu lebih lama lagi? Kalau harus
begitu, saya akan berangkat sekarang juga". Orang itu pucat mukanya
dan berkata: "Saya mohon dengan sangat kiranya tuan dapat menunggu
barang satu menit", dan dengan gugup ia berlari ke dalam. Kemudian
keluarlah Eisenhower, dia tidak minta maaf.
Bung Karno menceritakan kemudian bahwa hanya Presiden
Kennedy pada tahun 1961 yang berjanji akan datang ke Indonesia
di musim semi 1964. "Aku begitu gembira", kata Bung Karno,
"sehingga aku membentuk satu team arsitek dan insinyur untuk
membangun Gedung Tamu Agung, siap menyambut kedatangannya,
terletak dalam lingkungan pekarangan Istana".
Tapi, kata Bung Karno, secara umum memang Amerika memperhatikan
negara-negara Asia yang terbelakang, karena dua alasan. Pertama,
negara-negara itu merupakan pasar yang baik untuk melemparkan barang-
barang hasil industrinya. Kedua, Amerika takut negara-negara itu menjadi
komunis. Oleh karena itu, ia mencoba membeli kesetiaan negara-negara
tersebut kepadanya, dengan membagi-bagikan pinjaman disertai peringatan
bahwa pinjaman tidak akan diteruskan lagi, kecuali si penerima pinjaman
tetap "berkelakuan baik".
Menanggapi sikap Amerika yang demikian itu, Bung Karno mengutip
ucapan Manuel Quezon dari Filipina yang mengatakan:
"Lebih baik pergi ke neraka tanpa Amerika, dari pada pergi ke
sorga bersama dia".
Anthonie A.C. Dake yang anti Sukarno, mengatakan bahwa
pertemuan 4 mata antara Sukarno dengan Perdana Menteri RRT,
Chou Enlay, bulan Nopember 1964, setelah RRT meledakkan
bom atomnya yang pertama, Indonesia dijanjikan akan mendapat
Atom Device dalam tahun 1965. Kunjungan Menteri Luar Negeri
Chen Yi ke Indonesia sesudah pertemuan Nopember antara
Sukarno dan Chou Enlay (di Shanghai, dalam perjalanan dari Korea
Utara), juga membicarakan soal ini. Brigjen Hartono, Kepala Logistik
Angkatan Darat, dikutip oleh Dake, mengatakan bahwa semuanya
tergantung dari Sukarno, karena Indonesia sudah mempunyai ahli-
ahli untuk membuat atom. 33)
Bahkan dikatakannya dengan mengutip sumber kantor berita
"Antara" bahwa 200 ahli Indonesia bekerja untuk memproduksi
bom atom dan akan terjadi surprise pada 5 Oktober 1965
(Hari Angkatan Perang).
38) Dake mengatakan mengutip dari "Indonesian Observer"
23 Desember 1964.
Dikatakannya sebuah delegasi di bawah pimpinan Wu Heng,
wakil ketua Komisi Atom RRT, tiba di Jakarta berunding dengan
Prof. Soedjono Djuned Pusponegoro sebagai Menteri Riset Nasional. 39)
Menurut pendapat saya, cerita tentang bom atom dari RRT ini,
bertentangan dengan kenyataan lain, di mana saya waktu itu
sebagai Duta Besar Indonesia di Moskow, ditugaskan menandatangani
atas nama Pemerintah Rl, Perjanjian Sedunia tentang
Non Proliferation Nuclear (tidak mengembang-biakkan
senjata nuklir).
Jadi tuduhan Dake bahwa Indonesia akan mengadakan percobaan
bom atom di pulau Mentawai, 40) tidak benar, meski pun katanya
persetujuan itu telah ikut ditandatangani oleh Prof. Soedjono.
39) In the Spirit of the Red Benteng, hal. 335.
40) Ibid, hal. 328.
Ini semua tujuannya untuk dijadikan dalih supaya Amerika Serikat
segera bertindak terhadap Sukarno, karena rencana-rencananya
dianggap sudah terlalu berbahaya.
Rencana penyelenggaraan Konperensi Asia Afrika kedua di Aljazair,
bulan Juni 1965, juga dikacau oleh CIA, dimana bertepatan dengan
saat-saat persiapan akhir, tibatiba terjadi ledakan di gedung konperensi.
Guy Pauker, yang dipercaya sebagai tokoh CIA, adalah orang
Amerika yang di setiap peristiwa internasional penting selalu muncul,
tepat waktu itu berada di Aljir dan memerlukan mengunjungi Ny Supeni,
Duta Besar Keliling Rl yang waktu itu sudah berada di Aljir untuk ambil
bagian dalam konperensi sebagai anggota delegasi Rl. Pauker
mengatakan, keberadaannya di Aljir untuk memantau KAA-II secara
langsung, karena peristiwa ini penting bagi Amerika.41)
41) Supeni Wanita Utusan Negara, hal. 220.
Setelah terjadi ledakan bom di gedung konperensi, Menteri Luar
Negeri RRT, Chen Yi, yang memimpin delegasi negaranya dan
sudah lebih awal tiba di Aljir, langsung mengusulkan supaya
konperensi ditunda saja, karena katanya, mereka datang ke Aljazair
bukan untuk dibunuh. Usul ini disetujui oleh Aljazair dan negara-
negara peserta lainnya, yang kemudian disetujui pula oleh 3 kepala
Negara/Pemerintahan yang sedang menunggu di Kairo, yaitu Presiden
Sukarno, Perdana Menteri Chou Enlay dan Presiden Gamal Abdel Nasser.
Kalau KAA-II jadi dilangsungkan, Menteri Luar Negeri Indonesia,
Dr. Subandrio, sudah siap dengan satu pengumuman yang akan
disampaikan dalam konperensi itu, bahwa Indonesia mempunyai bukti
adanya satu plot Amerika-lnggeris akan mengadakan serangan militer
terhadap Indonesia. Karena konperensi tidak jadi diadakan, oleh
Subandrio hanya diberikan interview kepada wartawan harian terbesar
di Kairo, Al-Ahram (dipimpin Heykal), mengenai rencana Amerika-
lnggeris tersebut. Semenjak itu ketegangan makin terasa mencekam.
Presiden Sukarno dalam pidatonya di depan rapat Panglima TNI
Angkatan Darat seluruh Indonesia bertempat di Markas Besar
GANEFO Senayan 28 Mei 1965, sudah memperingatkan
kemungkinan yang bakal terjadi.
la menunjuk kepada makin meningkatnya kegiatan Nekolim
(Neo kolonialisme/imperialisme) untuk memukul revolusi Indonesia,
sambil memperingatkan bahwa dalam negeri pun sudah ada kaki-
tangan yang mereka tanam. Beberapa bagian pidato itu kutipannya
sebagai berikut:
Kaum imperialis sejak mereka bisa mengadakan peacefull
coexistence dengan Moskow, mereka mempunyai anggapan
bahwa yang menjadi musuh bukan lagi Moskow, melainkan
kita: Indonesian Revolution, Sesudah the Indonesian Revolution
naik aktivitas dan gengsinya, bahkan sesudah revolusi Indonesia
benar-benar universal, suaranya mendapat resonansi di bangsa-
bangsa lain.
Sesudah mereka melihat bahwa Indonesia adalah salah satu pokok
dalam kesatuan Asia-Afrika, sesudah mereka melihat bahwa di
dalam Dasa Warsa AA. (18 april 1965) Indonesia tidak tenggelam
kedudukannya di dunia AA, malahan naik, malahan Indonesia oleh
beberapa negara AA dianggap sebagai mercu suarnya, sesudah
Indonesia menganjurkan agar supaya Konperensi AA-II di Aljazair
lekas diadakan, sesudah Indonesia mengambil inisiatif untuk
mengadakan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces)
dan ternyata inisiatif Indonesia ini mendapat sambutan yang hebat
dari negara-negara AsiaAfrika, Amerika Latin dan negara-negara
komunis, sesudah itu maka pihak imperialis boleh dikatakan terbuka
matanya dan mengatakan: Here in Indonesia lies the danger.
Revolusi Indonesia ini harus di-contain.
Dulu mereka mencoba menghancurkan revolusi komunis di Rusia,
karena Sovyetlah yang pertama memberontak terhadap sistim
kapitalisme dan sistim kolonial. Pada waktu itu segala usaha
diadakan oleh mereka untuk menghancurkan Sovyet Uni.
Ini in geuren en kleuren (panjang lebar) diceritakan oleh
Leon Trotzky dalam bukunya "Mein Leben".
Bagaimana Trotzky sendiri memimpin ketahanan terhadap
gempuran dari lima jurusan. Trotzky sebagai Panglima Besar
tentara Sovyet mondar-mandir ke lima front itu dalam Markas
Besarnya di gerbong Kereta Api.
Sejak usaha itu gagal untuk menghancur-lemburkan Sovyet Uni,
mulailah mereka mengadakan international campaign terhadap
komunis. Maka tiap usaha dari bangsa apa pun yang anti imperialis,
dicap komunis.
Bahkan Petrus Bloemberger dalam bukunya "De Communistische
Beweging In Nederlandsch Indie", Dr. Cipto Mangunkusumo dan
Ir. Sukarno juga dikatakan: Ze Zijn communisten - mereka
komunis. Dan sampai sekarang masih saja "the communist
danger in Indonesia "
Baca bukunya Arnold Brackman, wartawan Amerika dulu tinggal
di Jakarta dan kawin dengan noni Jakarta, bukunya tebal, "Communism
in Indonesia", kita semua dikatakannya komunis, di samping PKI.
Sebutan komunis itu bagi kita sudah oude koek (basi). Kita sebenarnya
sekedar mempertahankan tanahair kita, mempertahankan kemerdekaan
kita dan mempertahankan revolusi kita. Oleh karena revolusi kita anti
imperialisme, ; mereka sebut komunis. Dijual oleh mereka omongan
bahwa Indonesia yang paling berbahaya, oleh karena Indonesia
is going communist. Padahal tidak. Indonesia hanya ingin
mempertahankan kemerdekaannya, hanya ingin menggabungkan
semua tenaga anti imperialis di 3 dunia menjadi satu barisan yang
berhasrat menentang imperialisme.
Karena revolusi kita dianggap sebagai yang paling berbahaya,
enemy number one - musuh nomor satu, -. maka segala
usaha mereka sebenarnya ditumpahkan kepada menghancurkan
kita, revolusi kita. Itulah yang penting harus kita pahami.
We are in the centre -kita berada di pusat aktivitas
mereka untuk menghancurkan. Kita yang akan dihancurkan,
dengan macam-macam jalan.
Panglima Angkatan Darat sudah disclose (menyingkap)
bahwa ada plan yang nyata bisa dibuktikan zwart op wit
dari mereka untok menghantam kita. Ada plan yang nyata en jullie
moet het weten (kalian harus tahu). Bukah sekedar plan
yang nyata ada untuk mengadakan propaganda per radio dan surat
kabar anti kita, tidak! Dan Jenderal Yani pun sudah berkata:
Kita tidak gentar! Kalau; mereka serang kita, sekaligus kita hancur
leburkan Singapura. Ya, memang karena Singapura adalah pokok,
mile stone di dalam life line of imperialism.
Sebetulnya selain plan-plan itu, kita mengetahui juga
macam-macam plan dari mereka untuk menghancurkan
revolusi Indonesia, Salah satu plan itu untuk membunuh
beberapa pemimpin Indonesia: Sukarno, Yani dan Subandrio.
Itu yang pertama-tama harus dibunuh, malah kalau bisa, sebelum
Konperensi AA - II di Alzajair (April 1965).
Kalau tidak bisa, sesudah Konperensi di Aljazair, diadakan limited
attack on Indonesia-gempuran terbatas terhadap Indonesia.
Dan pada waktu itu sedang ada limited attack, maka seperti
disebutkan dalam mereka punya plan, kawan-kawan mereka
(di dalam negeri) akan bertindak membantu menggulingkan Sukarno,
Yani dan Subandrio.
Kalau ini gagal juga, mereka akan berikhtiar lain untuk menggulingkan
Sukarno, Yani dan Subandrio, yaitu membuka segala
rahasia mereka terutama yang mengenai personal life (rahasia
hidup pribadi), sehingga rakyat akan bertindak memberontak
terhadap Sukarno, Yani dan Subandrio.
Kita mengetahui: "They are preparing an attack of Indonesia.
They are going to try to kill Sukarno, Yani and Subandrio.
They are going to make a limited attack on Indonesia.
They have the* friends here" - mereka mempersiapkan
serangan terhadap Indonesia. Mereka mencoba hendak membunuh
Sukarno, Yani dan Subandrio. Mereka akan melakukan
serangan terbatas terhadap Indonesia. Dan mereka mempunyai
teman-teman di sini "
Demikian kutipan sebagian dari isi pidato Bung Karno yang
rekamannya setelah ditranskrip terdiri dari 14 halaman folio
tik-tikan (2 spasi).
Apa yang diuraikan oleh Bung Karno, ada kemiripannya dengan
dokumen-dokumen State Department dan CIA yang diumumkan
di Amerika dan dikutip oleh berbagai peneliti sejarah seperti
Prof. Peter Dale Scott dan Gabriel Kolko yang sudah dicatat di atas.
Dengan memperhatikan pidato Bung Karno di depan rapat Panglima
Angkatan Darat seluruh Indonesia 28 Mei 1965, dipérkuat oleh
dokumen-dokumen State Department dan CIA yang diumumkan
di Amerika serta proses di pengadilan yang mengadili tokoh-tokoh
G30S/PKI, membantu kita memahami konstatasi Bung Karno
tentang terjadinya G30S/PKI dalam pidato "Pelengkap Nawaksara"
yang disampaikan kepada MPRS pada 10 Januari 1967 yang
mengatakan bahwa berdasarkan penyelidikannya yang seksama,
peristiwa G30S/PKI itu ditimbulkan oleh pertemuannya 3 sebab:
1. Kebelingernya pemimpin-pemimpin PKI.
2. Kelihaian subversi Nekolim.
3. Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar.
Namun jauh sebelum Bung Karno mengucapkan pidatonya itu,
Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio yang
juga Kepala Badan Pusat Inteligen (BPI) dan karenanya tentu
lebih banyak mengetahui detail situasi dari laporan-laporan Intel,
pada tanggai 3 Januari 1965 dalam resepsi peringatan harian
"Duta Masyarakat" sudah menyatakan bahwa tahun 1965,
memang merupakan tahun gawat. Gawat bukan saja karena kaum
Nekolim terus menambah gencarnya sorangan dan rongrongan
terhadap revolusi Indonesia tapi juga berbagai macam hal lainnya,
sebagai akibat keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB, karena
PBB menjadikan "Malaysia" anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB yang ditentang keras oleh Indonesia.
Tahun 1965 juga gawat karena kita dalam tahun ini akan berusaha
memperbaiki perekonomian kita, sedangkan kaum Nekolim sudah.
pasti tidak senang terhadap perbaikan ekonomi Indonesia itu dan
akan terus menghalang-halanginya.
Dikatakannya juga bahwa tahun 1965 adalah tahun kristalisasi dari
kekuatan-kekuatan dalam revolusi Indonesia. "Jangan terkejut apabila
saya katakan bahwa mungkin dalam tahun 1965 ini kawan-kawan
seperjuangan kita terpaksa ada yang rontok dan kita tinggalkan,
karena tidak lagi dapat mengikuti jalannya revolusi. Untuk meninggalkan
kawan-kawan yang tadinya merupakan kawan-kawan
seperjuangan itu, memang hati kita menangis, tapi hal itu terpaksa
kita lakukan, demi keselamatan revolusi kita", kata Subandrio.
Mengenai usaha Pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi
dikatakannya selain usaha kaum Nekolim merongrong, juga dari
kalangan bangsa kita sendiri ada tanda-tanda ke arah itu. Pada
saat ini tidak saja ada multimilyuner, tapi sudah terdengar pula
adanya rnulti-milyarder yang hanya menggunakan ludah, lidah
dan dengkul sebagai modalnya.
Dr Subandrio di kemudian hari divonis hukuman mati oleh
MAHMILLUB, tapi kemudian dirubah menjadi hukuman seumur
hidup.
Juga Menteri Penerangan Achmadi dalam sambutannya mengatakan
bahwa bagi revolusi Indonesia, tahun 1965 adalah tahun to be or
not to be, sebab Indonesia berhadapan dengan kaum Nekolim
yang merongrong kita. Rongrongan itu tidak saja dari luar, tapi
sudah di dalam tubuh kita sendiri, sebab sadar atau tidak, di tengah-
tengah kita ada saudara-saudara yang ikut serta membantu
rongrongan kaum Nekolim itu.42)
42) "Berita Indonesia", Jakarta, 5 Januari 1965.
Juga Achmadi divonis 10 tahun penjara.
Kecurigaan Bung Karno atas keterlibatan CIA di Indonesia, memuncak
pada bulan Juni 1965, setelah menerima pemberitahuan dari
Washington bahwa Marshall Green diangkat menjadi Duta Besar AS
yang baru untu k Indonesia, menggantikan Howard Jones yang sudah
7 tahun bertugas.
Pers Indonesia diinstruksikannya melalui ketua umum PWI Pusat,
A. Karim DP, supaya menggerakkan public opinion untuk menolak
kehadiran Marshall Green. Bung Karno mengatakan, sudah mempelajari
riwayat hidup ; Marshall Green yang berperan dalam penggulingan
Perdana Menteri Mohammed Mossadegh dari Iran yang
menasionalisasi perusahaan minyak Abadan pada tahun
1956 Juga ia yang berperan dalam penggulingan Presiden
Syngman Rhee di Korea Selatan pada tahun 1960.
Tapi instruksi Bung Karno ini ditentang oleh Subandrio dan berusaha
membujuk Bung Karno supaya melunakkan sikapnya dan jangan
menolak Marshall Green, karena ia khawatir akibatnya yang tidak
bisa terduga, misalnya Armada ke-VII AS tiba-tiba menampakkan
diri di Teluk Jakarta.
Akhirnya Bung Karno mengalah, tapi sikapnya tetap tidak sreg
dengan kehadiran Marshall Green di Indonesia. Howard Jones juga
ikut mendesak Bung Karno supaya tidak menolak Marshall Green.
Gabriel Kolko mengungkapkan adanya sebuah laporan dari Duta
Besar Howard Jones di Jakarta kepada Gedung Putih yang diterima
tanggal 3 Juni 1964 pukul 09.20 waktu Washington,43) menjelaskan
adanya pembicaraan antara Duta Besar Jones dengan Jendral
A.H. Nasution selama 1 jam 10 menit. Jones mula-mula mengatakan
bahwa ia datang membawa semangat yang bersahabat dengan
Indonesia, tapi katanya, ia melihat badai sedang nampak di
cakrawala dan oleh karenanya baik diperhatikan peribahasa lama:
Secercah persiapan pencegahan lebih baik dari mengharapkan
sekali penyembuhan.
43) Gabriel Kolko: Dokumen-dokumen State Department dan CIA
mengenai debat tentang peranan Amerika Serikat di lndonesia 1965,
13 Agustus 1990 - mengutip dari copy Lyndon B. Johnson Library.
Nasution mendengarkan dengan sabar selama setengah jam
uraian Jones tentang situasi ekonomi Indonesia yang sangat kritis.
Situasi akan menjadi lebih serius kalaupembicaraan Bangkok
(mengenai sengketa Rl dengan Malaysia), gagal. Keadaan yang
demikian- akan berkembang menguntungkan PKI dengan me-
ngambil langkah-langkah yang bisa berakibat putusnya hubungan
Indonesia dengan "Dunia Bebas", tèrutama Amerika.
Jones mengingatkan kepada Nasution bahwa bantuan
kepada Indonesia akan terpaksa dihentikan dan kewajiban-
kewajiban Amerika terhadap Pakta ANZUS {Australia, New Zealand
dan Amerika Serikat) akan diberlakukan, kalau Australia dan
Selandia Baru terlibat di dalamnya.
Nasution menjawab bahwa ia membenarkan analisis itu karena ia
juga menilai keadaan dalam dan luar negeri sangat gawat.
Ia ingatkan bahwa beberapa bulan lalu ia telah menyatakan
pandangannya yang sangat pesimistis tentang masalah Malaysia
dan kemungkinan bahwa pembicaraan di Manila dan Tokyo tidak
bisa menyelesaikan masalahnya. Ia mengakui dengan jujur bahwa
konfrontasi dengan Malaysia, menyakitkan.
Jones mengatakan bahwa ia sampai kepada satu kesimpulan:
"Karena tidak ada penyelesaian politik (mengenai Malaysia), militer
Indonesia bertekad melanjutkan konfrontasi, tapi dengan hati-hati
akan mencegah eskalasi menjadi sengketa besar. Bagaimana
pun akan diusahakan lewat penyelesaian politik. Nasution setidaknya
sadar akan bahaya komunis dan karenanya mementingkan pembinaan
ke dalam, agar militer Indonesia sudah siap kalau tantangan
datang. Tentara Indonesia dipercaya, masih anti kominis. Meski pun
demikian, ia menghindari dengan keras tentang kemungkinan tentara
ambil alih kekuasaan, sekali pun masalah ini sudah menjadi issue".
Jones menganggap pembicaraan ini konstruktif dan tidak
pernah sekali pun Nasution menyatakan permintaan bantuan,
kalau krisis datang.
"Saya rencanakan", kata Jones, "untuk menghubungi lain-lain
Jenderal dan yang pertama dengan Jenderal Yani"
Jones melaporkan bahwa, Nasution menyatakan kepada saya,
kata laporan Jones, "secara rahasia Angkatan Darat sedang
mengembangkan suatu rencana istimewa untuk mengambil alih
kekuasasn, yaitu pada saat Sukarno turun".
Catatan lain dari H. W. Brands (The Journal of American History)
mengatakan, 2 minggu kemudian Jones bertemu lagi dengan Nasution
yang meyakinkan kepadanya bahwa militer Indonesia tetap pro Amerika
dan anti PKI.
Jones melaporkan juga bahwa dalam satu pertemuan seorang
stafnya dengan Jenderal Parman, ia telah mendiskusikan suatu
rencana dengannya. Dikatakan, sekali pun sudah ada rencana
sehubungan dengan era post Sukarno, sentimen kuat memang
tumbuh di antara golongan penting pimpinan puncak tentara, untuk
ambil alih kekuasaan sebelum Sukarno meninggal. Kapan hal ini
terjadi, tergantung dari perkembangan beberapa minggu mendatang.
Tekanan-tekanan yang saling bertentangan tumbuh dengan cepat
dan menurut pendapat Parman, Angkatan Darat mungkin akan
mengambil tindakan dalam waktu 30 sampai 60 hari, untuk
menghalangi kegiatan PKI.
Kaum komunis sedang membangun kekuatan para militer dan mulai
mempersenjatai kekuatan itu. Inte I tentara telah mengetahui lokasinya
dan merencanakan sesuatu untuk menjalankan isolasi segera terhadap
pusat kekuatan itu, kalau detik-detik bertindak sudah tiba.
Tapi dikatakan, tidak ada sentimen di antara kepemimpinan militer
untuk bergerak terhadap Sukarno. Kalau tentara bergerak, mungkin
melakukan fait a acompli, coup akan dilakukan sedemikian rupa
untuk mempertahankan kepemimpinan Sukarno. Mereka yang
mengeritik kepemimpinan Sukarno sekali pun,- berpendapat
bahwa tidak ada kemungkinan akan berhasilnya sesuatu coup
terhadap Sukarno. Ia masih dicintai oleh rakyat.
Demikian laporan Jones yang disampaikan ke Gedung
Putih di Washington pada tanggal 3 Juni 1964.
Jones menyatakan kesannya: "Dalam pembicaraan itu Nasution
menyadari, bahwa ia tidak perlu terkejut, oleh pandangan yang
saya kemukakan kepadanya".
Menurut buku "Indonesia Crisis and Transformation 1965- 1868"
yang ditulis oleh Marshall Green sesudah ia bertugas sebagai Duta
Besar AS di Jakarta,44) rasa anti Amerika yang dikobarkan oleh Sukarno
mencapai puncaknya pada bulan Mei 1965. Sebelumnya, pada awal
tahun 1965, Rl menyatakan keluar dari keanggotaan PBB. Selain itu
Indonesia juga makin dekat dengan RRT, Korea Utara dan Vietnam
Utara. Di luar negeri Sukarno juga sedang hebat hebatnya meng-
galang persatuan negaranegara berkembang Asia dan Afrika guna
menentang kaum imperialis.
44) Ringkasan dan resensi buku itu dimuat dalam harian
"Suara Pembaruan" Jakarta berturut-turut tanggal 15, 16, 17
dan 18 Juni 1991 yang ditulis oleh wartawannya di Amerika
Albert Kuhon. Kemudian terjemahan buku itu dalam bahasa
Indonesia diterbitkan oleh "Grafiti". Jakarta, 1992.
Di dalam negeri, Sukarno menolak bantuan Amerika yang disalurkan
lewat program USAID (United State Aid), serta mengisyaratkan
kemungkinan pengambil-alihan perusahaan Amerika Serikat
seperti Calltex, Stanvac, Good Year dan Union Carbide.
Pada saat-saat seperti itulah Marshall Green ditawari jabatan
Duta Besar di Indonesia, menggantikan Howard Jones yang
pensiun. Waktu itu ia menjabat Deputy Asisten Menteri luar negeri
AS untuk Wilayah Timur Jauh, mendampingi sahabatnya sejak
kecil, William Bundy, yang menjabat Asisten Menteri Luar
Negeri untuk wilayah Tirnur Jauh. .
Waktu itu Presiden Amerika Serikat dijabat oleh Lyndon Johnson.
Dalam banyak hal langkah Duta Besar Howard Jones dinilai terlalu
membela Sukarno. Bahkan hubungan Jones dengan Sukarno
dianggap terlalu dekat, sehingga menutupi buruknya hubungan
antara Rl dengan Pemerintah AS. Jones pula yang membujuk
Sukarno agar bersedia menerima Marshall Green sebagai Duta
Besar AS untuk Indonesia. Walau pun ketika itu Sukarno tegas-
tegas mengatakan kepada pers bahwa Green yang dicalonkan
menggantikan Jones, bukan NEFOS (New Emerging Forces),
bahkan disebutnya Green adalah tokoh yang amat dekat
dengan CIA.
Setelah ada isyarat bisa diterima oleh Jakarta, maka Marshall Green
diambil sumpahnya di Gedung Putih sebagai Duta Besar, pada tanggal
11 Juni 1965.
Marshall Green dan Lisa, istrinya, serta putera bungsu
mereka Grampton (14), berangkat ke Jakarta 13 Juli 1965.
Mereka terbang melalui Honolulu dan Hongkong.
Wakil Dubes AS di Jakarta, Frank Gilbraith, ketika itu mengirim
kabar ke Washington, agar keberangkatan Green ditunda. Situasi agak
keruh karena di Jakarta sedang berlangsung demonstrasi besar-
besaran menentang kehadiran Marshall Green. Kabar itu diterima
oleh Green di perjalanan. Akibatnya, Green menunggu sekitar
seminggu di Hongkong, baru kemudian melanjutkan perjalanan
ke Jakarta.
Mereka beruntung karena pesawatnya tertunda lagi di Singapura
selama 2 jam. Pesawat tersebut baru tiba di Jakarta larut malam
dan para demonstran yang menunggunya sudah menghilang.
Bandar Udara ketika itu dijaga ketat, rombongan Marshall Green
dikawal sampai kediaman Duta Besar AS di daerah Menteng.
Poster-poster, menentang kehadiran Green masih tampak di
berbagai tempat dalam perjalanan dari Bandar Udara Kemayoran
ke tempat kediamannya di Jakarta Pusat kediamannya di Jakarta Pusat.
Sebagai layaknya pendatang baru, Green mengunjungi 3 Menteri
untuk berkenalan, yaitu Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri
Dr. Subandrio, Menteri Koordinator Pertahanan/Keamanan Jenderal
A.H. Nasution dan Menteri Negara Adam Malik.
Green menilai Subandrio sebagai pelaksana politik yang cerdik
dan merasa berpeluang besar menggantikan Presiden Sukarno.
Jenderal Nasution dicatatnya sebagai pejuang yang menentang
komunisme. Sedang Adam Malik merupakan politisi dan diplomat
pendukung Sukarno, namun melihat betapa PKI menyelewengkan
semua keputusan dan pendapat Sukarno.
Marshall Green menuturkan betapa Duta Besar Jepang di Jakarta,
Shizo Saito mempunyai jalur khusus ke Istana Merdeka, berkat
bantuan Dewi, istri (wanita Jepang) ketiga Sukarno, Saito sempat
membantu Green pada awal penugasannya sebagai Duta Besar
AS di Indonesia.
Tulis Green: Setidaknya ada beberapa kesan yang menggores
sangat dalam ke hatinya. Pertama, waktu ia membacakan dan
menyerahkan Surat Kepercayaan dari Presiden AS kepada Presiden
Sukarno dalam upacara resmi di Istana Merdeka 26 Juli 1965, lima
hari setelah rombongannya tiba di Jakarta. Sukarno dalam pidato
sambutannya menyerang kebijaksanaan politik luar negeri Pemerintah
AS, sehingga ia merasa amat tersinggung. Sebenarnya ia ingin
meninggalkan begitu saja upacara itu, tapi tak berani melakukannya,
karena takut dikenai persona non grata.
Green secara diplomatis membalas dengan menggoda Ny. Supeni,
seorang pejabat tinggi Departemen Luar Negeri Rl yang hadir dalam
upacara itu. Dubes Green mengatakan betapa Ny. Supeni yang
mengenakan kebaya hijau itu (green) memiliki daya tarik yang
sangat hebat, sehingga ia tak sempat menangkap kalimat-kalimat
terakhir yang diucapkan oleh Sukarno. Maksudnya, bagian yang
menyerang kebijaksanaan luar negeri AS. Godaan itu diucapkan
dengan suara yang sangat keras, sehingga tertangkap oleh mikrofon
dan terdengar oleh seluruh hadirin. Tentu saja suasana jadi tegang.
Tindakan Green ini ternyata berbuntut. Beberapa jam kemudian,
ribuan demonstran berkumpul di dekat kediaman Duta Besar Green.
Wakil demonstran yang diterima oleh Green mengemukakan banyak
hal mengenai imperialise Amerika Serikat, CIA dan berbagai hal
lainnya yang mengecam Amerika Serikat.
Kesan kedua yang diterima oleh Green dari Sukarno adalah
betapa seringnya ia dikata-katai sebagai orang yang menolak
sebutan sebagai Marshall of Air Force (Marsekal Udara).
Karenanya Sukarno di hadapan orang banyak beberapa kali
menyebut Green sebagai Marshall of CIA (Marsekal Intelligen AS).
Bulan September 1965, hubungan Rl dengan beberapa negara
tertentu memburuk, terutama dengan AS. Green segera mengirim
telegram kepada Menteri Luar Negeri Dean Rusk di Washington
meminta, supaya menyampaikan ultimatum kepada Indonesia.
Isi ultimatum dirancang oleh Green sendiri. Bunyinya: Segala
bentuk pengrusakan terhadap harta diplomatik dan konsuler AS,
akan mengakibatkan ditutupnya Konsulat Jenderal Rl di New York
serta tempat-tempat lainnya di Amerika Serikat. Green sengaja
menekankan penutupan Konsulat Jenderal Rl di New York, karena
ia tahu, Menlu Subandrio dan sebagian besar anggota Kabinet
Indonesia ketika itu, mengharapkan peran khusus Konjen Rl di
New York dalam bidang keuangan. Ultimatum yang diharapkan,
didapat dari Washington dalam waktu kurang dari 24 jam. Green
menyampaikannya kepada Dr. Subandrio tanggal 13 September 1965.
Ternyata Subandrio tidak marah menerima ultimatum itu.
Bahkan menanyakan hal-hal apa yang bisa dibantu oleh Pemerintah
Indonesia.
Sejak itu tidak pernah ada lagi demonstrasi terhadap Kedutaan AS
sampai akhir 1965.
Menyinggung peristiwa G30S/PKI, analisis pertama dari Kedutaan
Besar AS di Jakarta mengatakan, gerakan itu dilakukan oleh PKI
karena khawatir mengenai kesehatan Sukarno yang memburuk.
Karenanya, PKI buru-buru bertindak menghabisi lawan-lawannya
di lingkungan Angkatan Darat, selama Sukarno masih bisa
melindungi PKI. Jika Sukarno harus turun dari kepemimpinan
negara, PKI berasumsi bahwa Angkatan Darat tak punya lagi
kesempatan untuk menyaingi komunis.
Analisis kedua dari pihak Kedutaan Besar, adalah kecurigaan
mereka terhadap peran Sukarno dalam coup d'état. Green menyatakan,
kecurigaan itu antara lain disebabkan oleh munculnya
Sukarno di Halim Perdanakusumah, di mana berada para perencana
coup d'état. Green menambahkan, keterlibatan Sukarno dalam
pembunuhan para perwira tinggi AD, dimungkinkan karena merekalah
yang sejauh ini menghalangi Sukarno mencapai tujuan NASAKOM.
Analisis ke tiga, menurut Green, yang lebih dicurigai lagi
adalah pihak Cina Komunis. Pihak Cina tahu daftar nama para
Jenderal yang terbunuh pada pukul 11 siang 1 Oktober 1965,
satu jam sebelum daftar itu diumumkan di Jakarta. Dalam daftar
yang diperoleh Cina, terdapat nama Jenderal A.H. Nasution
sebagai yang terbunuh, sehingga muncul dugaan daftar Jenderal
yang akan dijadikan sasaran, sebenarnya sudah ada di tangan
pihak Cina sebelum G30S/PKI meletus.
Dua hari setelah Marshall Green kembali dari Washington
berkonsultasi dengan Presiden Lyndon Johnson, wakil Presiden
Hubert Humprey serta Menlu Dean Rusk, tepatnya
7 Maret 1966, Presiden Sukarno berpidato di muka umum yang
menyatakan Marshall Green akan di usir dari Indonesia.
Tanggal 8 Maret 1966, kedutaan Besar AS di jalan Merdeka
Selatan diserbu demonstran yang pro Sukarno.
Dikatakan oleh Green, International Governmental Group on
Indonesia (IGGI) merupakan realisasi dari rencana Deputy
Asisten Menteri Luar Negeri AS, Robert Barnett pada awal
tahun 1966.
Dalam resepsi memperkenalkan bukunya "Indonesia Crisis and
Transformation 1965-1968" di Gedung Asia Society Washington
awal Juni 1991, Marshall Green mengatakan bahwa tujuannya
menulis buku itu, terang-terangan ia sebutkan untuk membantah
tuduhan sebagian pihak mengenai keterlibatan AS dalam pembantaian
kaum komunis di Indonesia. "Amerika sama sekali tidak ikut campur
dalam soal itu. Indonesia menyelesaikan kemelutnya dengan
kemampuannya sendiri", kata Green.
Marshall Green menunjukkan ketersinggungannya karena dituduh
sebagai pihak yang bekerja untuk CIA. Tapi sebaliknya dalam kata
sambutan di bagian awal buku karya Green itu, seorang rekan
sejak kecilnya yang kemudian menjadi atasan Green, Asisten
Menlu AS, William P. Bundy, mengakui bahwa Green pernah
bekerja di lingkungan CIA.
Wartawan "Suara Pembaruan " menutup resensinya sehubungan
dengan apa yang dituliskan dalam buku itu, Green sama sekali tidak
menyebut nama George Benson. Disekitar meletusnya G30S/PKI
tahun 1965, Benson adalah seorang atase di lingkungan Kedutaan
Besar AS yang mempunyai hubungan khusus dengan beberapa
tokoh militer Indonesia. Green cuma mengatakan, salah seorang
atasenya yang bernama Willis Ethel, mempunyai hubungan istimewa
dengan ajudan Jenderal A.H. Nasution.
Buku Green ini bisa menjadi pelengkap khazanah sejarah Indonesia,
tapi tentu saja diperlukan kepastian akan kebenaran dan keruntutan
urainnya, kata Albert Kuhon (Wartawan "Suara Pembaruan"),
menutup tulisannya.
Apa yang dikutip di sini hanya bagian-bagian yang terpenting saja.
Pengakuan Marshall Green di atas, membuktikan betapa beralasannya
kecurigaan Bung Karno bahwa Amerika memang campur tangan
mengenai persoalan dalam negeri Indonesia dengan tujuan akhirnya
menggulingkan Presiden Sukarno yang terlalu anti imperialisme dan
kapitalisme yang justru menjadi strategi dasar politik global Amerika
Serikat.
Bung Karno yang tadinya sudah bulat sikapnya menolak kehadiran
Marshall Green, kemudian merubah sendiri sikap itu setelah dicairkan
oleh Subandrio. Memang dikemudian hari menimbulkan pertanyaan
juga, apa yang tersembunyi di balik peran Subandrio itu, yang sangat
kuat mendesak Bung Karno supaya jangan. menolak Marshall Green?
Kelemahan Bung Karno, karena ia sendiri ambivalent (mendua)
dalam sikapnya, sebagaimana umumnya orang-orang yang bernaung
di bawah bintang Gemini, dan masih berpikir dapat merubah sikap
agresif Amerika Serikat, jika saja ia memberikan konsesi. Padahal
konsesi itu terbukti tidak menolong apa-apa.
Cerita tentang penerbang Amerika, Allan Pope yang disewa oleh
kaum pemberontak PRRI/PERMESTA dan dalam satu kali serangan
saja sudah mernbunuh 700 rakyat di Ambon, akhirnya di ampuni
oleh Bung Karno dengan menggunakan hak prerogatipnya sebagai
Presiden, meski pun dengan imbalan yang tidak seimbang dengan
subversi AS di Indonesia, adalah sebuah contoh. Juga kemurahan
hati Bung Karno ini, sama sekali tidak merubah politik Amerika
Serikat terhadap Indonesia. Tentu maksud Bung Karno hendak
menunjukkan bahwa ia ingin nunjukkan bahwa ia ingin bersahabat
dengan Amerika, tanpa memahami lebih jauh strategi politik
Amerika yang justru hendak meruntuhkan kepemimpinannya.
Ada baiknya kita kaji kembali kisah kebaikan hati Bung Karno
menyelesaikan kasus Allan Pope.
"Di satu pagi hari Minggu bulan April 1958" kata Bung Karno,
penerbang Amerika, Allan Pope, yang disewa oleh kaum
pemberontak PRRI/PERMESTA, melakukan serangan terhadap
pulau Ambon, menyerang sebuah Gereja dan gedung itu hancur,
yang di dalamnya jama'at sedang melakukan kebaktian dan
terbunuh semua. Juga ditenggelamkannya sebuah kapal Republik
dan semua awak kapal mengalami nasib yang malang. Serangan
pagi itu telah membunuh 700 rakyat yang tak berdosa.
Prajurit-prajurit kita yang menggunakan meriam penangkis
serangan udara yang sudah tua menembak jatuh pesawat B-25
dan penerbangnya, Allan Pope, jatuh di pohon kelapa. Sebelah
kaki dan tulang pahanya patah. Ia harus bersyukur karena jiwanya
diselamatkan oleh Republik, ia diangkut ke rumah sakit.
Bung Karno menanyakan kepada Duta Besar Amerika Serikat,
mengapa penerbang itu memerangi kami?
Jawab sang Duta Besar: "Oleh karena dia dengar tuan komunis
dan dia hendak menyumbangkan tenaga dalam perjuangan
melawan komunisme".
Surat-surat Pope yang ditemukan di tempat dia jatuh, menyatakan
bahwa ia seorang penerbang yang diberi ijin untuk angkutan udara
sipil dengan menjelaskan haknya untuk menggunakan lapangan
terbang Clark di pangkalan Amerika dekat Manila.
Bung karno yakin, Allan Pope seorang agen CIA, meski pun tidak
ditemukan bukti yang tertulis. Tentu ia tidak ; sebodoh itu untuk
membawa bukti-bukti yang dapat memberatkan dirinya.
Di setiap negara yang baru berkembang, orang akan melihat
agen-agen Amerika banyak berkeliaran. Kami pun melihat
mereka berkeliaran di Jakarta, kata Bung Karno.
Isteri Allan Pope, bekas pramugari pada perusahaan penerbangan
PAN American Airways datang kepada Bung Karno dan
menerimanya Dia menangis mencurahkan, seluruh kesedihannya
dan memohon supaya suaminya diampuni. Bung karno tidak dapat
memandangi air mata seorang perempuan, sekali pun dia seorang
asing. Kemudian ibu dan saudara perempuannya juga datang
dengan sedu-sedan yang melebihi dari perasaan yang dapat
ditahankan oleh Bung Karno.
Saat itu Allan Pope sudah keluar dari rumah sakit setelah dokter-
dokter Indonesia menyelamatkan jiwanya tanpa memotong kakinya.
Ia sedang berada dalam tahanan rumah menunggu pemindahannya
ke penjara tentara untuk dihukum mati.
Tapi Bung Karno menyampaikan kepadanya: "Atas kemurahan hati
Presiden Republik Indonesia, engkau diberi ampun. Putusan ini
dilakukan secara diam-diam. Saya tidak menghendaki propaganda
mengenai hal ini. Pergilah dan sembunyikan dirimu di Amerika Serikat
dengan diamdiam. Jangan bikin cerita-cerita sensasi di surat-surat
dan sembunyikan dirimu di Amerika Serikat dengan diam-diam.
Jangan bikin cerita-cerita sensasi di surat-surat kabar. Jangan buat
pernyataan-pernyataan. Pulanglah, sembunyikan dirimu, kami akan
melupakan semua yang telah terjadi". 45)
45) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 400-402
Begitu besar kemurahan hati Bung Karno, sampai-sampai ia
menggunakan hak prerogatipnya mengampuni agen CIA yang
telah membunuh ratusan mungkin ribuan rakyat Indonesia dan
menenggelamkan banyak kapal Republik.
Tergerakkah hati Pemerintah Amerika Serikat untuk membalas
budi baik Bung Karno dengan menghentikan subversinya di
Indonesia? Tidak! Justru Amerika meningkatkan kegiatannya
hendak menggulingkan Bung Karno.
Namun cukup mengejutkan pengakuan Ladislav Bittman,
bekas kepala Departemen VIII Dinas Intelligen Cekoslowakia dalam
bukunya "The Deception Game" -permainan curang-yang
kemudian disadur ke dalam bahasa Indonesia oleh Oejeng
Soewargana. 46) Digambarkannya bahwa Dinas Intelligen
Cekoslowakia dan KGB (Dinas Intelligen Uni Sovyet), pada saat-
saat pengganyangan Amerika di Indonesia, nimbrung memancing
di air keruh.
46) Diterbitkan oleh PT. Tjandramerta, Jakarta, 1973.
Pengakuan itu mengatakan, Mayor Louda seorang perwira
senior intel Ceko yang beroperasi di Indonesia, menyampaikan
dokumen-dokumen palsu kepada pejabatpejabat Indonesia,
pimpinan partai-partai politik dan pers, yang langsung memper-
cayainya. Adegan dimulai dengan menyampaikan informasi palsu
kepada Duta Besar Rl di Praha (yang tidak disebut namanya),
mengenai apa yang dinamakannya "Operasi Palmer". Sang Duta
Besar yang katanya juga seorang perwira intelligen BPI (Badan
Pusat Intelligen), percaya kepada informasi itu dan meneruskannya
ke Jakarta, karena memang pesan Mayor Louda, harus diketahui
oleh Subandrio dan Bung Karno.
Akibatnya, bukan Bill Palmer saja yang menghadapi kesulitan,
juga "Peace Corps" Amerika yang banyak melatih di bidang olah
raga, dituduh menjadi mata-mata CIA, diusir dàri Indonesia.
|